Lihat ke Halaman Asli

Puting Beliung dan Ratih

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

ANGIN puting beliung menerjang beberapa desa dan kelurahan di Kabupaten Rokan Hulu, Pelalawan dan Kota Pekanbaru, di Riau. Sedikitnya 78 rumah penduduk rusak. Puting beliung juga merobohkan kubah masjid di Desa Kampung Baru, SP4 Indosawit, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelelawan (Harian Vokal 19/3/2012 halaman 1).

Dilihat di atas peta, wilayah yang disinggahi puting beliung alias tornado tersebut bukanlah lokasi yang berdekatan. Artinya, puting beliung yang menerjang ketiga wilayah tersebut mungkin bukan puting beliung yang sama, walaupun kejadiannya pada hari yang sama. Tapi tidak perlu ada pembuktian apakah satu atau tiga puting beliung yang berbeda. Angin puting beliung memang suka bertiup ke selatan, lalu berhembus ke utara, berputar-putar, lalu kembali lagi.

Catatan kita, bukan masalah besar kecil kerugian, ada atau tidak ada korban jiwa akibat angin puting beliung tersebut. Yang menarik adalah fenomena alam yang terjadi. Tidak satu bagian pun di kulit planet bumi yang kita diami ini bisa dinyatakan bebas dari topan badai. Namun dari fakta empiris, dataran rendah pantai timur Sumatera yang termasuk dalam wilayah Riau daratan, sebelumnya relatif sangat jarang dilanda angin puting beliung. Kita sering mendengar angin puting beliung di perairan Pulau Tujuh Laut Cina Selatan di wilayah Riau Kepulauan, tetapi tidak di daratan. Tapi begitulah, kata orang-orang bijak, tak ada yang baru di bawah matahari. Maknanya, planet bumi ini, yang konon terbentuk lima milyar tahun silam, sampai sekarang adalah yang itu-itu juga. Tidak ada perubahan konstruksi yang mendasar, kecuali di beberapa tempat di permukaannya gundul akibat hutannya ditebangi manusia. Selebihnya hanya itu, benuanya yang itu-itu juga, samuderanya yang itu-itu juga. Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tak kunjung penuh. Air laut menguap menjadi awan, awan menjadi hujan, air hujan kembali ke sungai, lalu mengalir lagi ke laut. Tak ada yang baru.

Di samping yang terjadi di Riau, puting beliung akhir-akhir ini juga mengobrak-abrik beberapa pulau. Tercatat di Pamekasan, Madura, di Kabupaten Bone dan Kampung Selayar di Sulawesi Selatan, dan di Kabupaten Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Dulu, bencana alam yang sering melanda adalah banjir bandang, longsor, gempa bumi, bahaya gunung berapi, dan sesekali tsunami. Kini bencana alam itu nampaknya ditambah dengan topan badai puting beliung, sebuah fenomena berupa angin topan yang berpusing kencang menyapu permukaan tanah. Dengan kecepatan 175 km/jam atau lebih dan lebar pusarannya mencapai sekitar 75 meter atau lebih, putting beliung sangat berbahaya, karena bisa menerbangkan rumah, kerbau dan sebagainya.

Tak ada yang patut dipersalahkan atau dijadikan kambing hitam. Angin puting beliung adalah fenomena alam. Apa yang bisa dilakukan manusia adalah berikhtiar untuk meminimalkan akibatnya, melindungi masyarakat dan mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh sebuah bencana alam. Kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mengatur bagaimana pemerintah mengambil langkah-langkah dalam mitigasi bencana dan menyelenggarakan tanggap darurat. Namun Badan Penanggulangan Bencana ini terkesan berorientasi struktural, apalagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Biasanya pejabat yang mengisi posisi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah adalah ibarat mentimun bungkuk.

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bila terjadi bencana alam, institusi dan personil yang paling siap memberikan pertolongan biasanya adalah TNI dan POLRI. TNI bahkan memiliki instrumen untuk mempersiapkan rakyat terlatih (Ratih) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih. Sayangnya rakyat terlatih ini berorientasi pada pertahanan keamanan Negara, karena merupakan salah satu wadah dan bentuk keikutsertaan warga negara sebagai perwujudan hak dan kewajiban dalam usaha bela negara.

Untuk antisipasi, kiranya penggabungan UU No 24 Tahun 2007 dengan UU No 56 Tahun 1999 agaknya perlu dipikirkan. TNI ke depan rasanya akan lebih banyak dituntut membantu rakyat yang terkena bencana daripada berhadapan dengan ancaman dari luar terhadap NKRI. TNI dengan demikian tidak hanya mempersiapkan rakyat terlatih untuk bela Negara tetapi juga menghadapi bencana.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline