Lihat ke Halaman Asli

Penyakit Demokrasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh. Chaidir

SIAPAPUN yang waras pasti mengatakan demokrasi kita sedang sakit. Penyakit sistemik yang paling menonjol adalah gonta-ganti aturan main. Undang-undang tentang parpol, tentang penyelenggara pemilu, dan tentang pemilu itu sendiri, belum lagi berusia lima tahun telah diganti.

Yang menyangkut nilai-nilai demokrasi, lebih parah lagi. Etika politik misalnya, dikesampingkan. Kejujuran dan sportivitas dibiarkan hanyut, keadilan dipermainkan. Hal-hal yang bersifat teknis, minta ampun. DPT disusun, DPT dimainkan. Kartu undangan pemilih dikacaukan banyak yang beralamat palsu (bikin Ayu Tinting bingung). Surat suara digandakan. Sebentar coblos sebentar contreng, coblos lagi. Rekapitulasi harus dipelototi saksi 3x24 jam, itu pun masih bisa kecolongan. Dan seterusnya. Maka jangan heran bila penguasa dan politisi yang terpilih, meleset dari harapan.

Farid Zakaria, editor senior Newsweek International, dalam bukunya "The Future of Freedom" (1997) edisi Bahasa Indonesia (Masa Depan Kebebasan, 2004) menemukan fakta menarik dalam penelitiannya di Afrika, bahwa pemilihan umum di banyak negara di benua hitam itu, menghasilkan pemerintah yang tidak efisien bahkan korup.

Hal itu agaknya sejalan dengan pandangan pakar politik ternama, Samuel P. Huntington, yang mengatakan bahwa pemilihan umum, keterbukaan, bebas dan jujur merupakan inti dari demokrasi, yang masing-masng saling terkait dan tak terpisahkan. Namun Pemerintah yang dihasilkan dari pemilihan umum bisa jadi tidak efisien, korup, berpandangan sempit, tidak bertanggung jawab, didominasi oleh kepentingan-kepentingan khusus dan tidak mampu menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyat.

Fareed Zakaria menyimpulkan, demokrasi bergerak pada arah yang berlawanan. Maksudnya, rakyat diberi kesempatan memilih pemerintahnya sendiri, tetapi kemudian karena pemerintah yang mereka pilih itu ternyata korup, otoriter, oligarki, lupa daratan, maka rakyat kemudian tidak lagi menghendakinya. Paradoks demokrasi ini disebut oleh para pakar sebagai penyakit-penyakit demokrasi. Dan penyembuhan penyakit-penyakit demokrasi itu menurut pendapat filsuf Amerika yang berpengaruh, John Dewey (1927), sebagaimana dielaborasi oleh Fareed Zakaria, haruslah dengan memberi dosis demokrasi yang lebih banyak lagi.

Demokrasi yang lebih banyak lagi adalah dengan cara memperluas hak-hak rakyat, menghilangkan pemilihan-pemilihan yang tidak langsung, mengurangi kekuasaan kelompok-kelompok elit, dan memberdayakan lebih banyak orang dengan lebih banyak cara.

Fareed Zakaria memang tidak mengambil sampel pemilu dan demokratisasi di Indonesia. Penelitiannya di Afrika. Tetapi pendapat Samuel P. Huntington dan postulat John Dewey yang dirujuk, rasanya sangat relevan dengan demokratisasi yang berlangsung di Indonesia. Demokrasi dengan sistem pemilihan langsung, sebenarnya sudah berada pada lintasan yang benar walaupun banyak kelemahannya. Sistem pemilihan langsung itu pun sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh mahasiswa kita dalam gerakan reformasi. Karena dengan pemilihan langsung itulah demokrasi politik ditegakkan dengan memberi peluang kepada rakyat memilih secara langsung memilih pemimpinnya. Harusnya, aturan mainnya saja yang dibuat jelas dan tegas sehingga mengurangi ekses. Rakyat pemilih makin lama pasti makin cerdas. Pasti semakin banyak yang bergeser ke wilayah idealisme dan harga diri, dengan mengatakan uang bukan segalanya dan bahaya konflik horizontal itu terlalu dibesar-besarkan, sebuah gejala awal paranoid.

Jadi, mengganti sistem pemilihan gubernur dari langsung menjadi sistem tidak langsung (melalui DPRD Provinsi) jelas bukan terapi yang tepat untuk bangsa kita yang sedang mengidap penyakit demokrasi. Sengsai…

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline