Oleh drh Chaidir
SYAHDAN, musyawarah besar para hewan memutuskan bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah dunia baru yang semakin tak menentu. Solusinya, mereka harus bersekolah bila tak mau kalah bersaing. Gagasan itu dituangkan oleh seorang ahli pendidikan Dr. R.H. Reeves dalam sebuah fabel menarik, The Animal School.
Dalam kisah The Animal School (Sekolah Hewan) sebagaimana ditulis Reeves, kurikulumnya adalah berlari, berenang, memanjat, dan terbang. Tak dijelaskan mengapa hanya itu kurikuklumnya. Mungkin ada kaitannya dengan persiapan atlit PON XVIII? Tentu tidak. Tetapi walaupun siswa-siswa di Sekolah Hewan itu dipastikan tidak akan ikut bertanding di PON XVIII, mudah dipahami, kompetensi dalam kurikulum tersebut sangat diperlukan oleh siswa untuk adu cepat berebut makanan, bertahan hidup di habitat yang semakin terancam, dan menghindar dari makhluk pemburu yang bernama manusia.
Untuk memudahkan administrasi, semua hewan di Sekolah Hewan harus mengambil semua mata pelajaran. Siswa itik pakar dalam berenang, bahkan lebih baik dibandingkan gurunya. Itik juga memperoleh nilai yang bagus sekali dalam pelajaran terbang, tetapi ia sangat buruk dalam mata pelajaran berlari. Karena itu ia harus tinggal sesudah sekolah usai dan juga melepaskan pelajaran berenang untuk berlatih lari secara ekstra. Itik dipaksa oleh gurunya berlatih sehingga kakinya yang berselaput pecah-pecah dan ini menyebabkan kemampuan berenangnya menurun menjadi sedang-sedang saja.
Kancil percaya diri sebagai siswa terpandai di kelas dalam pelajaran berlari. Tetapi ia stress berat karena harus belajar berenang. Tupai menyombongkan diri sebagai siswa yang sangat ahli dalam memanjat, namun frustasi hebat dalam pelajaran terbang, karena guru menyuruhnya terbang dari tanah ke atas. Berkali-kali dicoba, berkali-kali terjerembab, sampai tangan dan kakinya keseleo dan karena itu ketika ujian pelajaran memanjat ia hanya mendapat nilai C untuk mata pelajaran keahlian dan kesayangannya. Elang adalah siswa yang paling suka menimbulkan masalah yang menyebabkan gurunya pening tujuh keliling. Dalam mata pelajaran memanjat ia mengalahkan semua siswa yang lain menuju puncak pohon yang tinggi, tetapi ia bersikeras menggunakan caranya sendiri untuk tiba di puncak pohon. Ia terbang.
Pada akhir tahun ajaran seekor belut abnormal yang dapat berenang dengan luar biasa dan juga dapat berlari, memanjat dan terbang sedikit, mendapat nilai rata-rata tertinggi. Dan belut mendapat kehormatan mengucapkan pidato perpisahan. Itu belum seberapa kalau badannya dilumuri oli. Makhluk manusia sering mengumpamakan seseorang yang selalu mampu berkelit dari jeratan hukum, licin ibarat belut dilumuri oli. Padahal belut saja tak pernah berpikir seperti itu. Tanpa oli pun dia sudah licin. Sembarangan.
Tentang Penulis http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H