Lihat ke Halaman Asli

Serantau Beda Panggung

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

MEMBANDINGKAN panggung politik dua negeri serantau, Indonesia dan Malaysia, laksana membaca awal mekarnya kecambah gerakan demokrasi di Prancis dan Inggeris di era abad ke XVIII. Jadul amat? Memang. Tapi ini bukan masalah jadul atau gaul. Ini masalah perilaku politik masyarakat.

Roadshow yang dilakukan oleh tokoh oposisi Malaysia Dr Anwar Ibrahim di Indonesia, pekan lalu, telah menimbulkan rasa kurang nyaman di elit kekuasaan di semenanjung Malaysia, apalagi dalam roadshow tersebut Dr Anwar Ibrahim diberi laluan untuk berorasi di beberapa tempat. Peluang itu seakan mengindikasikan Indonesia mendukung perjuangan Dr Anwar Ibrahim untuk merebut kekuasaan dari tangan koalisi Barisan Nasional (UMNO cs) dalam Pilihan Raya di Malaysia yang akan dilaksanakan pada 2013.

Pada kenyataannya tidaklah semudah itu Indonesia bersikap. Dr Anwar Ibrahim memang memiliki banyak teman di Indonesia terutama para senior HMI. Pada hemat saya setiap kali kunjungannya ke Indonesia dan berdialog dengan elit politik di Indonesia, setiap kali pula syahwat intelektual Dr Anwar Ibrahim terpuaskan melalui tukar pikiran yang menggairahkan, tajam dan mendalam. Panggung politik di Indonesia yang tak habis-habisnya mempertontonkan gerakan perjuangan militan, sepertinya merupakan habitat yang pas bagi Dr Anwar Ibrahim.

Indonesia dan Malaysia adalah negeri serumpun yang ditakdirkan menempati rantau yang sama, dan memiliki banyak kesamaan, namun dalam perilaku politik nampak beda. Panggung politik di Indonesia sangat meriah, babak demi babak yang dimainkan penuh dengan adegan-adegan menarik. Sementara panggung politik di negeri jiran tidak dramatik. Mengapa?

Perjalanan sejarah agaknya berpengaruh. Malaysia dijajah oleh Inggeris. Sebuah negara yang memiliki tradisi panjang tentang kebebasan individu dan kenyamanan hidup. Tak ada tekanan dari gereja terhadap permasalahan yang terjadi di luar. Gereja di Inggeris lebih banyak berkhotbah tentang ketaatan terhadap tradisi dan otoritas. Di negeri-negeri berbahasa Inggeris (Anglo-Saxon) militansi revolusioner tidak mengakar dengan kuat. Mereka tidak menyukai gaya revolusioner militan seperti yang terjadi di Prancis dan di Negara-negara daratan Eropa. Itulah bedanya. Indonesia dijajah oleh Belanda. Negeri-negeri di daratan Eropa pada umumnya, seperti Belanda, Prancis, German, Italia, Spanyol, Portugal tak segan-segan menggunakan kekerasan dalam gerakan perjuangannya. Pemerintahan oligarki absolut yang menindas dan melecehkan hukum di daratan Eropa pada abad pertengahan telah memunculkan perlawanan militan dan gerakan revolusioner. Gerakan inilah yang menjadi awal terjadinya revolusi Prancis pada 1789.

Oleh karena itu mimpi Dr Anwar Ibrahim mengimpor gerakan revolusioner ala reformasi dan demokrasi Indonesia ke Malaysia, agaknya seperti pungguk merindukan bulan. Lain padang lain belalang.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline