Lihat ke Halaman Asli

Kelompok Anomi

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir, MM

PASCA keputusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir kemenangan pasangan calon Walikota Firdaus-Ayat Cahyadi dan memerintahkan KPU melenyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan Walikota Pekanbaru, perbincangan tak habis-habis. Di kedai-kedai kopi, di kantor-kantor, di kampus-kampus, di rumah makan, di pasar, di halte bus, di terminal ojek, di pangkalan taksi, di pos ronda, di café-café, dimana-mana, semua memperdebatkan keputusan tersebut.
Berbagai kelompok masyarakat pun merespon keputusan PSU tersebut dengan beberapa aksi seperti pengumpulan koin untuk Firdaus-Ayat, spanduk-spanduk yang menyindir MK, sampai pada penaikan bendera putih setengah tiang di beberapa tempat sebagai ekspresi matinya demokrasi dan keadilan di negeri ini. Kondisinya semakin seru ketika Tim Advokasi Berseri (julukan untuk pasangan calon Wakilota/Wakil Walikota Septina Primawati-Erizal Muluk) Evanora SH merespon balik dengan melaporkan pengumpulan koin dan pemasangan spanduk tersebut ke Panitia Pengawas Pemilukada Pekanbaru (Riau Pos, 29/6/2011 halaman 12). Padahal aksi tersebut agaknya adalah aksi spontan dari kelompok masyarakat, sama spontannya ketika sekelompok masyarakat menyebar spanduk mendukung keputusan MK tersebut.
Sebenarnya, munculnya kelompok-kelompok tersebut, terutama kelompok yang kecewa dengan keputusan MK, tidak mempunyai organisasi formal. Kelompok itu lebih tepat merupakan kumpulan individu-individu yang merasa mempunyai perasaan frustrasi dan ketidakpuasan yang sama. Kelompok-kelompok ini tidak terorganisir dengan rapi, namun secara spontan dapat mengadakan aksi sebagai bentuk protes. Kelompok inilah yang disebut oleh Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell dalam buku Comaparative Politics Today: A World View (1992) sebagaimana dielaborasi oleh Prof Miriam Budiardjo (2008) sebagai Kelompok Anomi. Kelompok yang merasa frustrasi itu bisa meledak menjadi situasi chaos alias keadaan tak terkendali, terutama bila berhadapan dengan keresahan akibat kebohongan-kebohongan dan hipokritisasi. Sejarah mencatat pemberontakan di Berlin Timur (1950-an), pemberontakan di Polandia (1980-an), demonstrasi berdarah di Tiananmen Square (1989), berputik dari Kelompok Anomi. Tak usah jauh-jauh, aksi kekerasan 1998 yang kemudian melahirkan gerakan reformasi adalah kulminasi dari sebuah rasa frustrasi.
Sesungguhnya, masih lebih baik bila ekpresi rasa frustrasi itu dimanifestasikan oleh masyarakat dalam bentuk-bentuk kreatif kritis daripada bentuk-bentuk yang kritis destruktif. Oleh karena itu, mematikan kreatifitas spontan masyarakat dengan melaporkan hal tersebut ke Panwas, akan membawa implikasi tak terduga. Kalau itu sebuah respon spontan, siapa yang hendak dilaporkan ke Panwas? Panwas tidak perlu dibenturkan dengan masyarakat. Salah-salah tindakan itu akan memperhebat rasa frustrasi masyarakat, karena sesungguhnya masyarakat menyuarakan suara hatinya, sambil berusaha menekan rasa ketidakadilan yang mereka rasakan. Dan perasaan itu tak bisa diintervensi atau dimobilisasi.
Masyarakat kita sesungguhnya sudah cerdas dan kritis. Para elit jangan bermimpi dapat memobilisasi pikiran dan hati mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline