Lihat ke Halaman Asli

Curhatan Fiksi - Kembali Pulang

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memilih meninggalkan rumah, bukan keinginanku. Ini semua karena keadaan yang memaksaku untuk pergi. Bahkan sudah berhari-hari aku tidak bisa tertidur karena riuh gemuruh pertengkaran ayah dan ibu yang menjadi jadi. Kini, perjalananku menuju rumah nenek adalah tindakan yang paling tepat untuk terbebas, bukan bermaksud untuk melarikan diri, namun aku tidak memilih antara ibu atau ayah. Lain halnya dengan Edu dan Si Cantik Naima yang dibawa oleh ibu sedangkan Mas Reno dan Mbak Nuri sudah berkeluarga, tentu mereka tidak merasakan pengaruh yang besar dengan adanya perpisahan ayah dan ibu karena mereka pun sudah lama tidak menengok keadaan aku, Edu dan Naima. Ayah pun tidak ingin tinggal dengan siapa-siapa, menyuruhku untuk pergi. Menyedihkan, itulah yang kurasakan kini bahkan lebih menyedihkan ketika aku membuka dompet dan hanya dua lembar uang seratus ribu, bekalku untuk menginap selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di rumah nenek.

Aku mencoba untuk menenangkan diri, namun bayang bayang perpisahan terus menggerogoti pikiranku. Mengapa ini harus terjadi? Setelah sekian lama mempertahankan. Haruskah kebangkrutan ayah menjadi alasannya? Ya, ayah mengalami pailit dalam usahanya hingga hutang menumpuk dan ibu tak tahan dengan keadaan selama beberapa tahun belakangan ini. Setelah aku amati, mungkin ibu lebih membatin karena emosi ayah yang selalu berlebihan. Ya mungkin jika aku jadi ibu, aku juga tidak akan tahan, tapi bagiku apapun keadaannya, akan kuperjuangkan demi anak. Itu secara teori, entah bagaimana secara prakteknya, Mbak Nuri yang kini berpengalaman.

Selama perjalanan, aku memandangi handphone yang kumatikan sebelum aku menaiki kereta. Kangen, itulah yang aku rasakan padanya, Amar, pasangan yang sudah setia menemaniku selama 4 tahun dan 2 tahun terakhir kami menjalani LDR karena dia bekerja di luar kota. Ingin rasanya mencurahkan hati ini padanya, tapi yang kutahu, dia sedang sibuk. Kemarin malam, saat aku bercerita akan ke rumah nenek, dia tengah berpesta dengan teman – teman kantornya karena keberhasilan tim dalam pencapaian target. Bahkan setelah pesta itu selesai, hari ini, hari dimana dia akan persentasi. Tak perlu rasanya menceritakan duka ini.

Keramaian di kelas kereta ekonomi ini, bagiku masih terasa sepi. Kali ini, aku merasakan lelah jasmani dan rohani. Bagiku, perpisahan antara ayah dan ibu, masalah terberat yang kuhadapi dalam hidup ini. Aku hanya bisa mengenang masa kebahagiaan bersama mereka. Aku terkadang berpikir, setiap orang memiliki masalah terberat dalam hidupnya, entah masalah bersama pasangan, masalah akademik, masalah keuangan bahkan masalah penurunan motivasi hidup karena kehilangan orang tua.

Sesampainya di stasiun terakhir, aku merasa asing. Stasiun sudah direnovasi, sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah nenek, terakhir kali waktu lebaran tiga tahun lalu. Menyusuri sungai, masih sama seperti dahulu. Itulah yang menjadi daya tarik menuju rumah nenek. Dari kejauhan, terlihat nenek dan kakek sedang di kebun. Indahnya menghabiskan masa tua bersama di desa. Kagum aku melihatnya. Teriakan nenek, menyadarkanku. Aku berlari semangat menghampirinya. Aku memeluknya erat, menangis dalam hati. Nenek terus memujiku, Gia cucuk nenek semakin cantik. Aku hanya bisa tersenyum manis padanya. Terlihat kakek menghampiri sambil membawa cangkul, lalu mencubit pipiku.

Buah – buahan hasil dari kebun, ikan dari sungai tangkapan kakek, tersedia di meja makan, untukku layaknya ratu. Kami tertawa bahagia, saling bercerita. Aku menunduk murung, buah tangan tidak bisa kubeli karena uang pas pasan. Kakek bahkan bertanya padaku, mengapa lebaran tahun lalu tidak mengunjungi Kakek, kami hanya berkomunikasi melalui handphone. Alasannya, perlahan lahan Ayah sudah mengalami kebangkrutan, Ayah malu jika datang kesini tidak membawa apa apa. Tidak seperti dahulu, yang selalu membawa oleh-oleh banyak dari kota. Lalu alasan kedua, semenjak Mbak Nuri dan Mas Reno menikah, mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga pasangannya. Itu alasan dalam hatiku, aku hanya meminta maaf saja, sulit untuk menjelaskannya. Menyedihkan, bahkan ingin aku menanyakan apakah ayah masih mengirimkan uang untuk nenek dan kakek, tapi aku malu. Untung saja, ada uang pensiunan.

Beberapa hari, aku menghabiskan waktu dengan tidur, makan dan membereskan rumah. Terus saja seperti itu. Nenek hanya menggeleng geleng kepala, melihatku seperti ini. Bahkan kakek pun menerka aku bertingkah seperti ini karena kelelahan dengan tugas dan aktivitas kampus, jadi memakluminya. Memang, aku merasa lelah, ingin menghapus semua memori dan mengobati luka dengan cara tertidur. Semakin banyak tertidur, semakin sering mimpi indah terjadi hingga aku tergiur ingin menyelaminya lebih dalam daripada hidup di dunia nyata ini. Semua seketika berubah, ketika sarapan, kakek menawarkanku untuk ke kebun belakang. Membosankan, itulah yang terlintas di pikiranku. Kenyataannya, kebun belakang yang dahulu membosankan bagiku, kini menjadi taman peristirahatan kakek dan nenek. Sungguh indah, suara aliran sungai bahkan kebun buah-buahan membuatku tercengang. Aku menghempaskan tubuh ke dalam saung, menikmati ketenangan ini. Nenek dan kakek merasa lega melihatku senang.

Seorang lelaki menghampiriku, ternyata teman kecilku di desa, Bari. Kutahu, pasti nenek menyuruh Bari untuk menemaniku yang sedang melamun ini. Kami mengenang masa kecil bersama. Tak kusangka, Bari yang sudah selesai kuliah S1 lebih memilih untuk kembali ke desa dan membuka usaha hortikultura. Bari menceritakan kakek membantunya dengan semua pengalaman yang kakek miliki saat membuka kebun. Keesokan harinya, dia mengajakku pergi ke kebun miliknya.

Aku memandangi Bari yang tengah sibuk melatih warga sekitar dalam mengolah lidah buaya. Aku mulai tersadar, selama dua minggu lebih ini, aku terlarut dalam kesedihan sehingga membuatku merasa sia-sia dan kehadiranku tidak bermanfaat bagi kakek nenek. Kembali ku ingat apa yang membuatku sedih, pertama, perpisahan ayah dan ibu, kedua, kerinduanku yang berlebihan pada Amar, ketiga, masalah keuangan sehingga sulit bagiku untuk bergerak seperti sulit bermain bersama teman teman, keempat, entah mengapa aku jenuh dengan kehidupan kampus, kelima, aku berpikiran negatif akan masa depanku setelah perpisahan ini.

Penyelesaian yang dapat kulakukan, pertama, aku akan kembali pulang dan berbicara baik-baik pada ayah dan ibu, tak ada kata terlambat untuk rujuk, kedua, aku akan melunturkan perlahan rasa cintaku pada Amar karena mencintai terlalu dalam itu sangat melelahkan bagiku karena rindu yang selalu timbul, ditambah hubungan hambar ini mulai terasa, ketiga, aku akan berguru pada Bari dan kakek untuk membuka usaha kecil-kecilan, keempat, aku harus menikmati tahun terakhirku di kampus seperti mengikuti kegiatan atau acara kampus atau bahkan ke perpustakaan untuk fokus tugas akhirku, kelima, aku harus berpikiran positif, perpisahan ini bukan akhir dari segalanya, masih banyak orang yang mengalami penderitaan karena kemiskinan seperti yang tergambar di desa ini.

Lusa, rencana aku pulang namun kakek sudah mempersiapkan oleh-oleh untuk dibawa ke kota. Aku dan Bari turut membantu kakek di kebun. Aku sangat bahagia dengan keceriaan ini, Bari begitu baik padaku. Walaupun Bari sangat perhatian, aku tetap merindukan Amar. Takut cinta lama bersemi kembali, kucoba untuk jujur ketika Bari mempertanyakan pasanganku. Kuceritakan Amar padanya, terlihat Bari kurang tertarik maka kugoda dia untuk menceritakan pasangannya agar percakapan ini tidak hanya tertuju padaku. Dia menceritakan perempuan di pesantren dekat rumahnya, terlihat Bari sedang mencari pasangan hidup. Aku jadi kembali teringat Amar, mau dibawa kemana hubungan ini bahkan sudah lama tidak mendengar pujian dari Amar untukku, bahkan seperti panggilan anehnya “Gigin”, GIa GINanti. Kesibukan kantor mulai mengubahnya, terasa sedih tapi harus kuterima, aku tidak boleh kekanak-kanakan. Aku tersadar kembali, Bari masih menceritakan perempuan itu. Dia rutin setiap pagi mengirimkan buah-buahan untuk perempuan itu. Aku hanya bisa tertawa, maklum masa masa pendekatan, lelaki selalu gencar untuk memikat hati wanita. Dia pun memberi nasihat ketika aku mengeluh kesibukan Amar dengan tanpa kabar, bahwa sesibuk apapun lelaki di kantor, seharusnya selalu meluangkan waktu untuk orang terpenting dalam hidupnya. Aku hanya mengangguk perlahan.

Nenek menghampiri kami, aku riang mengajak nenek untuk ikut membantu kakek. Raut wajah nenek berbeda, tiba tiba memelukku dan menangis mempertanyakan ‘Mengapa Gia tidak menceritakan tentang ayah ke nenek?’. Jantungku berdebar, ada sesuatu yang janggal. Nenek memanggil ayah dan menangis membanjiri pundakku. Aku tak kuat menahan beban nenek, seperti ada pisau yang tertusuk ke jantungku.

Aku kembali pulang. Pulang untuk melihat pemakaman ayah. Amar memelukku erat dan sama halnya ‘Mengapa kamu tidak cerita padaku?’ bahkan Neta, sahabatku pun mempertanyakan itu. Ayah mengalami stress berkepanjangan hingga tidak pernah makan, hanya minum kopi dan rokok, kesehariannya. Aku merasa anak yang jahat, meninggalkan ayah dan hanya memikirkan kesedihanku saja. Egois! Selama beberapa tahun terakhir, ketika krisis keuangan, aku tidak pernah memperhatikan apa yang ayah makan.

Aku terjatuh kembali. Setiap hari Amar menemuiku, dia mengambil cuti. Ibudan adik tinggal bersama Mbak Nuri sedangkan aku memilih untuk tinggal di rumah nenek. Amar dan Bari mulai terlihat akrab. Aku senang melihatnya, perlahan menghapus kesedihan dan mencoba ikhlas atas kepergian ayah.

Di dunia ini, yang kucintai dan kusayangi adalah ibu, kedua adalah ayah dan ketiga adalah Amar. Semenjak kepergian ayah, di dunia ini, lelaki yang pertama kucintai dan kusayangi adalah Amar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline