Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Labeling Politik, Jahat dan Mengerikan

Diperbarui: 20 Maret 2021   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Amas (Dokpri)

STIGMA merupakan pemikiran curiga dan simpulan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. Di Indonesia fenomena ini sudah cukup meluas. Bahkan banyak kita temui disaat tahun politik. kita meringkas dan menyederhanakan dalam istilah labeling dalam tulisan ini. Labeling atau label, cap dan stempel politik memang menyakitkan.

Labeling yang dipakai Negara seperti 'saya Indonesia, saya Pancasila'. Lantas ruang gelap tentang tafsir 'saya' akan mengundang debat. Tentu begitu bermakna multitafsir karena terbatas kalimat 'saya'. Kenapa bukan kata 'kami Indonesia, kami Pancasila'?. Menurut saya, ini pilihan diksi politik. selain parsial, juga membawa peluang menyalahkan atau menuding ada orang lain yang tidak Pancasilais.

Kengeriannya tentu diterima kepada orang-orang atau kelompok orang yang diberi label negatif. Mereka yang telah dilabeling radikal, teroris, makar, akan sulit mengekspresi pikirannya terhadap pembangunan di Indonesia. Sedikit saja kritik tajam dilayangkan, oknum pendukung fanatik pemerintah, juga pemerintah reaksioner memberikan tudingan intoleran. Padahal, itu hanya labeling.

Yang belum tentu benar. Tapi efeknya karena telah meluas, maka publik juga ikut memperkuat labeling politik itu. Jadilah ramai-ramai orang ikut menghamiki orang lain. Dalam konteks 'tarung opini', siapa yang kuat dan dominan mengendalikan instrument seperti media massa maupun media sosial, mereka akan menang. Dan biasanya, Negara dalam hal ini pemerintah yang menang.

Bila saja ada kelompok yang tidak disukai pemerintah. Lalu, pemerintah mengeluarkan tudingan kelompok itu radikal, teroris, penggerak makar, melakukan supversif dan tudingan miring lainnya. Hal itu, akan berlahan menguasai pikiran publik. Sehingga Negara yang menang dalam mengendalikan opini. Merugilah mereka yang mendapat labeling negatif tersebut.

Sebagaimana dalam teori pelabelan, bahwa identitas diri dan perilaku individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang digunakan untuk menggambarkan dan mengklasifikasikannya. Artinya, saat ini labeling bukan lagi berkepentingan untuk pencerahan dan pembelaan pada sebuah kebenaran, namun lebih pada urusan mengamankan kepentingan politik.  

Stigmatisasi ini merusak nalar publik. Sekaligus yang lebih berkepentingan disini kecenderungannya adalah dimotori pemerintah. Oposan politik saja, ketika dianggap membahayakan kepentingan politik kekuasaan, memungkin oposisi itu dilabeling melawan pemerintahan yang sah (makar). Begitu menyakitkan dan mengerikan tuduhan-tuduhan labeling politik ini.

Di Indonesia sangatlah ramai dengan labeling-labeling politik seperti itu. Dari labeling yang diduga kuat disponsori Negara melalui buzzer, membuahkanlah counter opinion. Gerak balik melawan opini yang dibangun pemerintah. Lahirlah seperti tudingan 'pemerintahan Jokowi menghamba pada komunis'. Pemerintahan yang lemah dan didikte China. Aib pemerintahan yang doyan berhutang ke Luar Negeri pun diekspos besar-besaran oleh rakyat.

Menjadi konsumsi massa yang terus meluas. Hasilnya, benturan-benturan opini dihidupkan. Konflik dalam tataran narasi yang konstruktif menjadi redup, bahkan nyaris hilang. Yang berkeliaran hanyalah saling tuding. Ketika ada rakyat yang melontarkan kritik, pemerintah menudingnya antipati. Rakyat tersebut dianggap rival pemerintah, dianggap lawan politik yang belum move on.

Sunggu kejam, padahal bukan disitu poinnya. Yang disampaikan rakyat berupa kritik adalah cermin dari kerinduannya agar Indonesia dimajukan pemerintah. Pembangunan dilaksanakan dengan serius. Rakyat mau memotivasi pemerintah, bukan karena antipati. Tarung opini, saling tebar labeling menyeret-nyeret tema yang destruktif. Bahkan sampai ke soal-soal personal, sungguh sangat tidak produktif.

Menjadi debat kusir di media massa maupun Sosmed. Tergiringlah topik-topik pembangunan Negara, evaluasi terhadap pemerintah yang mestinya dibahas. Biasanya inilah yang diharapkan pemerintah. Rakyat diharapkan tidak lagi cerdas dan kritis mempersoalkan kegagalan, kurang tepatnya program pemerintah yang diimplementasikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline