Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Buzzer, Jokowi dan Paradoks

Diperbarui: 12 Februari 2021   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Daya hancur buzzer, ilustrasi (Foto Energibangsa.id)

KRITIK kita tahu sebagai kekuatan penyeimbang demokrasi. Itu sebabnya di Indonesia lahirnya, lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (parlemen). Fungsinya selain melakukan kontrol, ialah melahirkan balance of power. Adanya keseimbangan kekuasaan, sehingga tidak monoton dan sentralistik pemerintahan dijalankan.

Terlahirlah harmoni. Ada check and balance dalam pemerintahan. Begitu pula dalam skala luas, antara pemerintah dan rakyat. Kritik itu begitu diperlukan guna mengingatkan pemerintah. Akan keluar jalur pemerintahan, jika semua puji-pujian disampaikan rakyat.

Yang tren pembela pemerintah bertransmisi melalui buzzer. Para pemuja pemerintah ini bermetamarfosis melalui praktek bertopeng. Mereka berkeliaran bebas di dunia maya. Tanpa memakai identitas yang otentik dan valid. Kelompok pengecut yang bermuka ganda.

Peternak buzzer diduga kuat ada di Indonesia. Bahkan beberepa indikasi menunjukkan keterlibatan pemerintah, berpihak kepada buzzer. Mereka seperti binatang jahat yang tak bertuan. Kemungkinan mereka jinak kepada orang-orang atau kelompok yang memberi keuntungan finansial.

Buzzer melahirkan buzzer. Jadilah buzzer-buzzer yang berlipat ganda. Buzzer disebut juga pendengung. Mereka mendengungkan fakta-fakta versinya. Kebenaran dan data-data menjadi relatif di mata mereka. Hoax maupun tuduhan-tuduhan serius soal kebenaran yang diragukan menjadi mainan buzzer.  Pekerjaannya membuat keributan di Medsos.

Seperti gelombang, mereka terbentuk atas kepentingan. Buzzer ini sederhananya diartikan sebagai bel, lonceng atau alarm. Mereka berbunyi nyaring ketika pemerintah dikritik. Habis mati-matian mereka membela pemerintah. Di mata buzzer, Presiden Jokowi seperti Tuhan. Tak ada yang salah padanya.

Sekarang muncul kebijaksaan Jokowi tentang kritik. Ia mulai akomodatif dengan pendapat alternatif. Jokowi minta dikritik. Ini kemajuan bagus. Bertanda pola piker Jokowi mulai terbuka. Jokowi mengatakan masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik. Seperti dilansir urbanasia.com, Rabu 10 Februari 2021.

Jokowi menyampaikan itu masih dalam suasana kesempatan Hari Pers Nasional 2021. Rupanya ada hidayah dan kesadaran mengalir terhadap pemimpin kita ini. Sebelum-sebelumnya, tak terdengar kebijaksanaannya tentang pentingnya kritik. Demokrasi kita mulai maju.

Kita berharap, berbarengan Jokowi juga menertibkan para buzzer. Caranya tentu sederhana, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika semua 'huru-hara' di Medsos dapat dikendalikan. Bagi pengguna akun Medos yang abal-abal, tampil palsu dapat diblok. Pemerintah mengetahui cara menjegalnya.   

Kelihatannya, Jokowi mulai muak melihat lep service. Dan pujian yang membuatnya merosot sebagai pemimpin Indonesia. Terpantau masih ada paradoks (paradox). Dimana bertentangan atau berlawanan antara pernyataan Jokowi dengan meluap-liarnya para buzzer. Mereka menghadang para pengkritik dengan cara-cara tidak cerdas.

Anti kritik, sesudah itu yang mereka ajukan sebagai alasan tidaklah kuat. Buzzer merupakan hantu jahat di jagat maya. Mereka tampil bringas menjilat kepentingan pemodal dan penguasa, tanpa malu. Semacam timer, ketika pemerintah dikritik. Mereka serentak, terorganisir menyerang para pengkritik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline