Berkelana, mengikuti kemana kaki melangkah. Tanpa henti, rasa lelah letih, bosan. Risikonya keringat dan air mata menjadi teman bersamanya. Kerja keras, keuletan menjadi senjatanya. Kemudian, bekerja berdoa adalah kekuatan yang paling ampuh baginya. 'Ora et labora' diyakininya menembus segala jeruji kebekuan dan problematika.
Itulah sebenar-benarnya ikhtiar bagi sang pengembara. Tidak ada lelucon baginya dalam menjaga nilai-nilai perjuangan. Penguatan diri, memelihara, menumbuhkan relasi begitu pekerjaannya. Walau dari sikap baik yang coba dibangun, ada saja pihak atau oknum yang tidak senang dengannya. Itu biasa.
Tak ada hidup yang berjalan damai selamanya. Konflik dan pertentangan selalu hadir mengganggu kenyamanan semua manusia. Termasuk mereka yang istiqomah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Hantaman godaan, sekaligus tekanan hidup membuat ia matang menghadapi realitas.
Sejarah pasti merekam, mencatat mereka yang hidupnya tanpa patah semangat. Optimisme, berjuang tanpa usai. Jika menemui 'kegagalan' dimaknainya sebagai kesuksesan yang tertunda. Dalam keyakinannya, ketidakberhasilan sebagai modal untuk mengantarnya meraih sukses.
Belanja 'kegagalan' dilakukannya. Tanpa harus ciut, kecil hati untuk maju lagi. Sejarah akan selalu hidup, terutama dari orang-orang yang berfikir. Terlebih kita yang dalam tiap peristiwa mendokumentasikannya dalam catatan 'tulisan'.
Kesulitan yang ditemui di depan mata begitu kompleksnya. Kekurangan biaya, umpatan, penghianatan, fitnah siling berganti. Seperti itulah sejujur-jujurnya kehidupan. Para pengembara itu bermodalkan semangat juang. Tak boleh berpikir negatif. Sebab, disitulah kegagalan, kemerosotan hidup akan menerkammu.
Berdirilah tegah dengan sikap kemanusiaan kita. Kita kadang kekurangan biaya. Hidup bergantung pada orang. Kita dipandang rendah, bahkan amat rendah. Begitulah kita yang telah berani mengambil keputusan menjadi pengembara. Haruslah tetap bergembira. Sering tertindas perasaan kita atas perlakuan orang-orang congkak.
Yang belum mengerti inklusifisme berfikir. Mereka yang terlampau fanatik dan parsial mengerti, memahami primordialisme. Semangat pribumi, kaum penduduk lokal yang timpang. Di luar sana, masih ada saja pihak-pihak yang memelihara pemikiran kerdil diskriminatif.
Kita harus hidup lebih bebas merdeka. Terbuka pikiran. Keluar tak boleh tersandung pada pikiran-pikiran dikotomis domestik. Karena kelak, memelihara, membiarkan perbuatan curang. Menzalimi akan menimpa juga mereka dan anak cucu-cucunya.
Sakit rasanya jika menyaksikan sikap diskriminasi manusia pada manusia. Jauh dari sikap, percakapan-percakapan yang produktif. Padahal, tantangan kita adalah melahirkan peradaban kemanusiaan yang berkualitas. Di tengah himpitan dan serangan kebiasaan-kebiasaan import yang materialistik. Kubdaya asing yang menghilangkan kebersamaan dan parsaudaraan kita.
Kekompakan, saling peduli. Gotong royong yang menjadi kekuatan penting berlahan mulai lenyap. Kita tergilas karena ego sektoral sesama anak bangsa. Hasilnya konflik, mispersepsi, pergunjingan menyedot keseharian kita. Sampai kita lupa hal-hal positif yang harus kita lakukan. Kita makin jauh dari persatuan.