Pemilihan Umum (Pemilu) digelar terpisah antara Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibuatkan shift menjadi dua tahap. Berarti wajah sistem Pemilu kita makin liberal. Mirip Pemilu di Negara Federal.
JIKAAda skenario Pemilu dibuat dua kloter, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemilu Nasional melingkupi pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Pileg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diproyeksikan dilaksanakan tahun 2024.
Pemilunya terpisah dengan Pemilu Lokal. Ada semacam klaster Pemilu. Tentu dalam berdemokrasi, hal ini akan mempengaruhi partisipasi pemilih. Klasifikasi tersebut juga melahirkan jarak, diskriminasi dalam perayaan demokrasi. Rakyat dibelah dalam dua kubu. Terutama bagi politisi yang terjub sebagai aktor politik dalam momentum tersebut.
Membaca sekilas, Resume Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum yang disiapkan Badan Keahlian DPR RI, April 2020. Tawarannya bisa memungkinkan terjadinya kerawanan, ketika RUU tersebut ditetapkan. Betapa tidak, dari aspek antisipasi dibukanya kesempatan bagi para cukong untuk bermain dalam ruang gelap demokrasi begitu besar.
Sebut saja, pengalaman kita di tahun 2020 disaat Pilkada Serentak yang dilaksanakan di 270 Daerah. Hampir semua daerah dimenangkan dengan pendekatan politik uang (money politic). Pragmatisme politik merajalela. Itu tak lain adalah perbuatan para cukong. Para pemilik model yang beropsesi, bernafsu menguasai kekayaan rakyat di daerah. Tentu kompensasi politiknya berupa proyek. Tidak ada yang gratis dalam politik modern.
RUU akan diselaraskan dengan UU diatasnya. Sepandai apapun, diatur formatnya, perubahan Pemilu bergelombang akan melahirkan bencana demokrasi. Saya optimis hal itu akan terjadi. Sebaiknya, Pemilu tetap dilaksanakan sebagaimana siklas yang ada.
Tugas DPR dan Eksekutif yaitu membenahi yang kurang-kurang. Memaksimalkan pengawasan, lebih sadar lagi terhadap supremasi hukum. Jangan menjadi pembangkang aturan. Itu saja dulu.
Percuma aturan dirubah-rubah, kalau kesadaran elit pemerintah, elit politik belum benar-benar ada. Jangan bermimpi terlalu besar, dan berlarut. Bila di alam nyata demokrasi kita semua masih mudah menerima uang suap. Kemudian menggadaikan hak demokrasi hanya demi materi.
Ayo ambil spirit dari diksi Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Shihab soal 'Revolusi Akhlak'. Ini menjadi kontemplasi buat pemerintah kita, juga kita semua. Jangan dianggap itu kritik atas motif kebencian. Atas nama Negara, rakyat harus bicara dan jangan alergi kritik.
Karena pemerintah boleh berganti. Tapi, Negara tidak. Negara akan terus ada, berkembang dan selama manusia Indonesia masih konsisten menjaga integrasi, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh.
Pemerintahan itu sifatnya periodesasi semata. Itu sebabnya harus dibedakan. Kritik rakyat itu semata-mata terhadap pemerintahan yang kadang mengabaikan hak-hak rakyat. Bukan anti terhadap Negara. Yang dilakukan para pengkritik, jangan direpresif. Termasuk Habib Rizieq Shihab.