Hajatan demokrasi lima tahunan yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tentu menjadi momentum penting bagi masyarakat. Dalam Pilkada Serentak tahun 2020 yang melibatkan 270 daerah di Indonesia ini tentu tak lepas dari praktek curang (tipu-tipu) dan rekayasa sistematik. Itu sebabnya, perlu ada antisipasi. Agar Pilkada di musim pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berjalan adil dan jujur.
9 Provinsi di Indonesia akan menghelat Pemilihan Gubernur, sedangkan 224 Kabupaten dan 37 Kota juga dalam waktu bersamaan, yakni Rabu 9 Desember 2020 melaksanakan agenda Pilkada. Pemilihan pasangan calon Bupati serta Pemilihan pasangan calon Wali Kota. Sebagaimana suksesi kepemimpinan umumnya, seketat apapun mekanisme (regulasi) yang ditetapkan, selalu saja ada pelanggaran.
Pilkada bermuara sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai wujud dari dinamika demokrasi, dan tuntutan keadilan sebab dugaan kecurangan, alhasil digiringlah sengketa Pilkada. Dari pengalaman-pengaman tersebut, maka perlu diatur, diperhatikan siklus demokrasi kita. Dari hulu sampai hilir harus dipastikan benar-benar bahwa semua tahapan berjalan benar, adil dan jauh dari praktek curang.
Penyelenggara Pilkada (KPU dan Bawaslu) harus tegak lurus. Bergerak pada khittahnya. Menunjukkan kemandirian, independensinya sebagai lembaga penyelenggara Pilkada. Berposisi sebagai pengabdi, pembantu atau budak dari masyarakat melalui kepatuhannya terhadap aturan perundang-undangan. Komisioner KPU maupun Bawaslu merupakan orang-orang terpilih yang digaji masyarakat untuk bekerja secara professional.
Jangan gadaikan kapasitasnya dengan sebongkah uang. Jangan lacurkan diri, lantas menjadi berpihak pada oknum-oknum calon Kepala Daerah tertentu. Terkutuk, laknatlah kalian para Komisioner KPU dan Bawaslu yang tidak professional menjalankan tugasnya. Seperti itu pula dalam mengingatkan partai politik agar menjaga kemurnian demokrasi. Dengan tidak mencemarkan nilai-nilai demokrasi yang suci dengan praktek politik uang dan politik sektarian, sentimentil SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan).
Jadilah kader partai yang produktif dan bertanggung jawab mengawal demokrasi. Begitu pula dengan para elit (pemimpin) partai politik di daerah, jangan hanya berobsesi menang, lalu menghalalkan segala cara. Melainkan, memberi teladan, contoh yang baik sekaligus legacy pada masyarakat tentang mulianya peradaban demokrasi. Melalui politik santun, berkualitas jauh dari cara-cara brutal. Politik uang maupun politik sembako, sudah masuk kategori politik brutal.
Itu cara merusak demokrasi. Menodai citra dan reputasi demokrasi yang kita bangga-banggakan selama ini. Termasuk politik dengan mengorek, mengembangkan isu-isu SARA. Tidak dipenankan diterapkan dalam ranah demokrasi kita yang penuh toleransi. Kerukunan yang begitu kuat terjaga di Manado, perlu dirawat. Jangan lagi dikembangkan isu-isu sektarian yang memicu konflik di tengah masyarakat kita.
Pilkada dengan spirit transformasi harus dapat menyatuhkan masyarakat. Dengan demikian, semua stakeholder masyarakat saling berpartisipasi, melahirkan kesadaran kolektif. Mengedepankan rasionalitas, bukan sentiment negative yang merusak tatanan nilai demokrasi yang ada. Demokrasi dari oleh dan untuk rakyat harus dihidupkan. Bukan sekedar menjadi ucapan lip service. Melainkan dapat membumi di masyarakat. Makna filosofis, kultural dan sosiologis dari demokrasi wajib dijalankan.
Hentikan riak-riak demokrasi yang malah menjauhkan demokrasi dari nilai-nilai substansinya. Meski demokrasi yang riang gembira, penuh suka cita melahirkan happy ending. Bukan petaka dan bencana bagi kepemimpinan daerah selanjutnya. Dari harapan-harap tersebut perlulah ditumbuhkan kebersamaan, konsensus, pakta integritas untuk mewujudkan Pilkada Serentak 2020 yang damai, jujur, adil, transparan dan jauh dari sikap-sikap kebinatangan.
Starting pointnya sederhana, demokrasi jujur dan tanpa tipu-tipu akan melahirkan kepemimpinan bertanggung jawab. Pemimpin yang bertanggung jawab sudah pasti bermartabat, terhindar dari korupsi dan perbuatan curang lainnya. Lahirlah kepemimpinan intelektual, bukan kepemimpinan abal-abal. Bukan pula kepemimpinan yang diselundupkan dari para pemodal untuk sekedar menjadi boneka. Pemimpin daerah yang dikendaki masyarakat Manado adalah pemimpin sejati, bukan stuntman.
Dari rangkaian ekspektasi, diperlukanlah ketenangan dan kebebasan masyarakat memilih pemimpinnya di tanggal 9 Desember 2020 yang tinggal menghitung perpindahan jarum jam ini. Jika masyarakat Kota Manado memilih karena uang, karena sembako, maka pastilah kedepan akan melahirkan pemimpin yang lancang, terang-terangan mengecewakan masyarakat. Semua kita menitipkan harap, kiranya edukasi politik yang dilakukan para calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Manado membekas.