Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Hijrah, Rebutan Kepentingan, dan Pilkada

Diperbarui: 25 Juli 2020   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika menelisik sejarah, Nabi Besar Muhammad SAW mengalami capaian keberhasilan disaat melakukan hijrah. Beliau berpindah dari satu wilayah geografis ke wilayah (zona) yang baru. Diamati sekilas seolah hijrah itu sebatas perpindahan yang barsifat materil. Tapi lebih dari itu, hijrah yang dilakukan harus dipandang secara holistik.

Hal itu perlu dilacak dan ditinjau secara radikal. Dimana hijrah itu bermakna kaffah (menyeluruh). Dalam pentas politik kita di Indonesia saat ini, tidak sedikit para politisi melakukan teknik atau metode hijrah tersebut. Mereka lebih pada bermutasi dari satu partai politik ke partai politik lainnya. Dan sudah pasti motif berpindahnya berbeda. Kebanyakan politisi kita 'ganti kulit' (pindah partai) karena soal ketidak cocokan kepentingan.

Mulai saling menggusur, ada pihak yang terisolasi kepentingannya, sehinggal tidak lagi survival secara politik. Kepentingan pribadi yang kebanyakan menonjol dalam proses hijrah yang dilakukan politisi. Berbeda dengan Nabi yang menjalani ikhtiar. Perjalanan panjang menuju kematangan sebagai pemimpin dilalui Nabi, tidak main-main.

Penuh resiko terancam nyawa, dikhianati, diasingkan, dicibir, dianggap gila, dituduh sebagai manusia aneh dan lain-lain cercaan serius lainnya. Meski begitu Nabi yang merupakan jelmaan manusia sempurna mampu melewatinya, dan berhasil mencapai puncak. Nabi meraih banyak gelar. Beliau menjadi insan kamil, menjadi Al-amin. Penduduk Mekkah memberi gelar kepada Al-amin karena beliau amanah, jujur dan dapat dipercaya.

Derita dan tantangan yang diamali politisi kontemporer sebetulnya masih sama. Yakni tentang amanah, kepercayaan, moralitas, etika dan juga nawaitu (niat). Karena tidak berdiri tegak di atas itu semua, akhirnya datanglah hujan badai musibah demokrasi yang menerpa politisi kita. Merak berhijrah karena soal vested interest. Benturan kepentingan, pertikaian sentimentil gerbong, pihak yang menang menggeser yang kalah dalam struktur kepengurusan sebuah parpol.

Bukan pada ketidak samaan visi atau ideologi parpol lagi. Melainkan pertentangan yang umumnya tumbuh dalam interaksi politisi kita adalah soal perbedaan kiblat kepentingan masing-masing pihak. Ideologi dan orientasi parpol, disisi lain ternyata tidak berhasil membuat politisi taat, loyal terhadap parpol. Malah yang ada hanya pembangkangan. Lahirlah pertarungan antar geng di internal parpol. Ideologi parpol tidak diposisikan sebagai pedoman.

Kader parpol ideal dan idola akhirnya mulai tereduksi. Ada yang kuat secara konseptual atau ideologi parpol tapi lemah dalam posisi struktural. Alhasil, mereka tersingkir. Faksi mereka yang kalah akan dialienasi dalam pergaulan di parpol. Sekalipun kuat secara pikiran, pengalaman dan loyal, pasti kalah dalam pengambilan kebijakan parpol. Begitulah seterusnya iklim yang dibangun di internal parpol selalu saling mendominasi.

Mekkah dan Madinah merupakan simbol kemajuan (pembaharuan) dan transformasi. Jalan revolusi yang membawa peradaban manusia dari kondisi keterbelakangan. Meninggalkan kedzaliman, suasana bar-bar dan konservatisme berpindah pada tatanan kota madani (berperadaban tinggi). Hijrah menerangkan kepada umat manusia bahwa perubahan itu harus berlanjut. Seperti itu juga dengan perjuangan yang harus terus dikobarkan guna meraih kemajuan. Manusia harus hidup dengan standar moralitas, hormat-menghormati, rukun dan patuh terhadap perintah sang khalik.

Politisi yang mengerti esensi hijrah tentu lebih tenang menghadapi dinamika politik. Kebanyakan mereka tidak mau heboh dan ribut, menjauhi drii dari kemauan saling menjegal. Berpindah dari satu parpol ke parpol lainnya bukan sebatas like and dislike pada pemimpinnya. Disini pun kita bisa memetik pelajaran bahwa politisi juga ada yang istiqomah dalam berjuang, dan ada yang tidak. Mereka ada juga yang mau enaknya saja.

Ketika memasuki medang perjuangan, sebagian politisi juga mencari jalan aman. Menghindari perjuangan yang memakan tumbal korban harta dan waktunya untuk kebenaran atau kemenangan. Kemudian, setelah menang barulah mereka merapat. Mereka mendekat kepada pemenang hanya untuk merasakan nikmatnya perjuangan orang lain. Politisi ini disebut politisi pengecut yang pandai ganti muka. Tidak ikut berjuang, tapi menikmati hasil perjuangan.

Nabi yang agung melewati segala kepahitan dan kesulitan hidup. Mereka bukan potret pemimpin cengeng yang tiba-tiba menjadi pemimpin. Rebutan kepentingan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), seperti di Kota Manado pun kita harapkan begitu. Kontestasi berjalan lancar, tak ada kecurangan. Kemudian para kompetitor dengan 'dayang-dayangnya' (pengikut) berjuang bersama, merasakan kesulitan dengan prinsip kolektifitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline