Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Ujian Demokrasi dan Petaka Pilkada

Diperbarui: 13 Juli 2020   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi di gerbang disintegrasi (Foto Fahri)

"Perang finansial dan modal akan bermain di Pilkada darurat ini. Bagi petahana, mereka akan memanfaatkan bantuan sosial dari pemerintah untuk dipolitisasi. Dimainkan seolah-olah seperti pemberian dirinya sendiri, padahal dari masyarakat pula bantuan itu." 

Tidak mudah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah gelombang Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dimana pandemi ini mengubah status kondusifitas Indonesia menjadi darurat kesehatan. Masyarakat masuk pada era bencana non-alam, sehingga hampir semua rutinitas sosial masyarakat terinterupsi sejenak. 

Pemerintah mengajak masyarakat untuk menjauh dari hiruk-pikuk kerumunan, terapkan social distancing. Atau yang santer disebut pula physical distancing, stay at home, work from home, semua itu rangkaian ikhtiar yang dibuat pemerintah agar masyarakat terhindar dari penularan Covid-19. Di lain sisi di tengah kedaruratan kesehatan itu, petaka, bencana (disaster) mengintai kenyamanan masyarakat, Pilkada tetap jalan.

Upaya itu seperti terdisrupsi dengan adanya pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020. Tidak main-main 'Pilkada darurat' dilaksanakan dengan mengacu pada Perpu Nomor 2 Tahun 2020 dan berpedoman terhadap Surat Edaran Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam kondisi bencana non-alam. Secara eksplisit dijelaskan situasi kedaruratan menjadi faktor distingsi Pilkada kali ini dengan Pilkada-Pilkada sebelumnya.

Ada disparitas yang jelas dan tegas. Bahwa Pilkada abnormal ini tidak memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk terlibat dalam semua tahapan Pilkada secara langsung dan "sesuka hati". 

Pengawasannya pun begitu, dibatasi. Publik yang mau memastikan kebebasan demokrasinya agar tidak direkayasa dan diubah, diatur secara representatif.

Seperti harus beberapa orang saja yang mewakili yang lain, kalau sudah begitu, mestinya Pilkada dilakukan dengan sistem Anggota DPRD memilih Kepala Daerah agar tidak setengah hati kita menerapkan sistem perwakilan.

Seolah-olah wajah demokrasi kita pada fase pandemi mengalami kemandulan yang serius. Diantara semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam hajatan demokrasi dan realitas abnormal, menjadi saling bertentangan. Bertolak belakang, partisipasi politik diberi takaran tertentu.

Seperti disparitas demokrasi, padahal praktek semacam ini mendestruksi demokrasi. Penyelenggara Pilkada seperti KPU yang meminta dana untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) juga menjadi barang unik. Pilkada 'bermasker' yang bisa segala kepentingan jahat diselundupkan disana.

Masyarakat kita berdemokrasi dengan ditentukan jarak tertentu. Kuantitas dan jarak sosial malah menjadi garapan para penyelenggara Pilkada, yang sesungguhnya terbalik dari sebelum-sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline