Seperti sudah menjadi takdir dalam politik, bahwa uang dan materi adalah ukuran mutlak seorang politisi untuk menang. Padahal ini sebetulnya salah kaprah terhadap politik.
Kebiasaan buruk politisi borjuis yang mementaskan kekayaannya kepada masyarakat bukanlah jalan kebenaran dalam politik. Itu fatal dalam hal menumbuhkan mutu demokrasi. Cara menyesatkan yang menjebak demokrasi menuju praktik-praktik mulia musyawarah mufakat, gotong-royong, egaliter, dan solidaritas.
Demokrasi itu bukan tentang penguasaan modal. Jangan mengukur demokrasi dengan pakaian kapitalis. Tentu hal tersebut tidak sejalan dan akan bertentangan dengan inti demokrasi.
Pelaksanaan kehendak yang masuk melalui politik pragmatis akan melumpuhkan perjalanan demokrasi. Tidak hanya itu, praktik transaksional dalam berdemokrasi membawa demokrasi keluar rute yang sesungguhnya. Demokrasi itu tentang penghargaan terhadap kemajemukan, kebersamaan, dan persatuan.
Itu sebabnya, demokrasi layak dijalankan dengan penuh cinta kasih dan mengikat di hati masyarakat. Jangan mengandalkan relasi kekuasaan dan penguasaan modal dengan kepentingan picik. Salah satu bagian yang membuat demokrasi kita mengalami kemunduran karena adanya ancaman badai pragmatisme.
Kesadaran masyarakat harus terlebih dahulu disentuh. Masyarakat perlu tahu bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang peka, punya kepedulian. Jangan kacaukan pikiran masyarakat dengan virus pragmatisme politik yang menggunakan pendekatan materi sebagai kompensasi dalam pilihan politik masyarakat.
Pijakan politik pun tanpa kita sadari mulai bergeser dengan badai pragmatisme. Masyarakat diajak, dikonstruksi pemikirannya tentang potret pemimpin populis dan peduli adalah mereka yang memberikan uang di saat Pemilu atau Pilkada dilaksanakan.
Sedangkan para politisi, pekerja sosial, dan mereka yang mendampingi masyarakat jauh sebelumnya, tidak memberikan uang di momen politik, ditinggalkan begitu saja.
Badai politik pragmatis dan oportunisme akan selalu menghantui demokrasi. Karena terbukanya mekanisme pemilihan kepemimpinan yang dibuat, masyarakat bebas berinteraksi, mengakses calon pemimpin dalam hal ini politisi.
Begitu pula dengan para politisi yang punya keleluasaan bertemu dan mengonsolidasi masyarakat untuk kepentingannya. Keterbukaan itu jangan dimanfaatkan dengan mengapitalisasi masyarakat. Atau berusaha melakukan praktik pembodohan politik kepada publik.
Terendus memang, ada sebagian politisi menjadikan politik sebagai hal "domestikasi". Mengeruk kekayaan, bukan pengabdian secara murni. Hal ini juga memberi pengaruh terhadap perjalanan perpolitikan Tanah Air, yang fluktuatif dan banyak ditemui konflik kepentingan ketimbang kolaborasi.