Lantas apa yang kita bayangkan, bila pejabat publik ingkar janji? Kadang kala kita terlibat komunikasi akrab, bagai saudara sendiri. Sering juga terputus, tak saling menyapa.
Keakraban dengan siapapun di dunia memang begitu adanya. Naik turun, kadang mandek, adakalanya lancar. Termasuk berhubungan dengan pejabat publik.
Ya, sudah masuk di dalamnya para kepala daerah, legislator sampai Presiden. Kalau kita mengerti dan memahami psikologi sosial dan adab pejabat, maka pasti kita maklumi.
Biasalah itu. Tak ada relasi yang paten dalam urusan keduniaan. Begitulah politisi, tak perlu kagetlah. Memang begitu adanya.
Kita dibutuhkan kalau ada perlunya. Jangan cepat-cepat GR (gede rasa) ketika dipuji. Ketika dekat dengan mereka yang kita anggap pejabat publik, biasa saja. Karena semua itu perjumpaan kepentingan. Setelah kepentingannya selesai, atau kepentingan kita selesai, bisa saling melupakan.
Hempaskan kesan yang melumpuhkan kesadaran kritis dan rasional kita. Dekat dengan politisi atau pejabat tinggi kadang dilupakan, itu mah biasa. Belajarlah dari pengalaman. Membaca beberapa keluh kesah, ekspresi kecemasan dan kekecewaan beberapa kawan, saya hanya bisa tersenyum.
Dalam benak saya, sudah seperti itulah watak pejabat. Mereka maunya dihormati, dikultuskan. Mereka mudah melupakan. Gampang ingat, tapi ingatannya kepada kawan yang mungkin mengetahui kasus vital oknum pejabat tersebut.
Bagi kawan yang mereka kenal biasa-biasa saja, pasti gampang dilupakannya. Tidak harus sampai Baper (bawa perasaan) saat kenal para pejabat. Sebab kelak, mereka lupa dengan kontribusi dan ketulusanmu membantu.
Apalagi sang pejabat itu dikelilingi para pembisik yang hatinya busuk. Habislah kau, character assassination (pembunuhan karakter) dilakukan, dan kau jadi dibenci pejabat yang kau anggap dekat. Jadilah penjilat, kata kawanku di Jarod yang sering berdiskusi intens dari tema ringan sampai berat.
Wah, gawat juga. Sekelas kita yang mengagungkan idealisme. Menolak takluk pada intervensi, terdidik untuk gelorakan idealisme yang akrab dengan gagasan progresif, tentu tak mau menjadi penjilat.
Bukan itu marwah yang akan digapai, yang kerjanya hanya memuji penguasa. Bukan tipikal kitalah, saya balas membisik ke kawan itu. Tegas, kita bukan gen penjilat.