Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Melemahnya Hegemoni Intelektual

Diperbarui: 17 Oktober 2019   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, hegemoni intelektual

 MATINYA kepakaran merupakan suatu narasi yang padat berisi. Luas maknanya, ulasan dari Tom Nichols, penulis buku 'The Death Of Expertise' perlawanan terhadap pengetahuan yang telah mapan dan mudharatnya.

Di era informasi seperti sekarang berdasarkan uraian Tom bahwa bagaimana pendapat yang salah dianggap sebagai kebenaran. Mereka yang pakar pun kurang mendapat tempat idealnya.

Parahnya pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan seperti akademisi, media dan pakar sendiri memiliki andil dalam membunuh kepakaran. Keilmuan dan pandangan terkait disiplin pengetahuan menjadi yang tidak urgen saat ini.

Penjelasan pakar tidak didengar, melainkan mereka yang lebih banyak pengikutnya yang pikiran dan pertimbangan-pertimbangannya didengar. Bahkan kadang ditaati. Melalui interaksi sosial yang luas, hal-hal yang didapatkan di ruang formal menjadi nihil nilainya.

Realitasnya, banyak orang yang menjadi pakar dadakan. Kaum terdidik pun kadang terbawa sirkulasi pemikiran tersebut. Tradisi menjaga kepakaran atau kompetensi professional mulai meredup.

Lebih digemari malah pemikiran yang berwujud asumsi dan spekulasi. Dari pada pandangan seorang pakar terhadap pengetahuan yang digelutinya. Menurunkan kesadaran ini lantaran dipengaruhi dari banyaknya pakar menggadaikan (mengkomersialkan) kepakarannya.

Lahirnya mereka yang tidak pakar dibidangnya. Hanya mengetahui sedikit tentang hal terkait. Lalu berbicara vokal, bersikap seolah-olah paling pakar dibidang keilmuan tersebut. Hasilnya, rekayasa, abal-abal, dan gagal paham yang terjadi.

Kalau diamati di Indonesia termasuk kita diuji kondisi matinya kepakaran. Dimana ada pakar politik atau Guru Besar yang ketika diduga telah berafiliasi politik, maka seluruh pandangan-pandangan politiknya dianggap tendensius. Kemudian, publik menjadi tidak percaya dengan apa yang disampaikan.

Sering juga pakar yang benar-benar original pikirannya dalam bidang keilmuan tertentu tidak terterima. Memberi pendapat kurang didengar. Bahkan diragukan karena berbeda pilihan politik. Menjadi ironi, semua terperangkap pada relatifisme dan skeptisisme.

Dunia seperti terbalik. Yang bukan pakar berbicara lantang, seolah-olah dia pakar. Dan dipercaya, hanya karena dia memiliki relasi sosial atau ikatan kepentingan yang kuat. Fenomena itu ditopang pula dengan kegemaran kita yang kadang lebih menginginkan membaca atau melakoni banyak hal.

Walaupun hasilnya tak maksimal. Ada semacam kebanggaan orang Indonesia, karena dipandang mengetahui banyak hal. Ternyata yang diketahui itu setengah-setengah saja, tidak holistik. Bagi pakar, studi spesifik dan melakukan sesuatu sesuai bidang keahlian adalah yang paling mulia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline