RISKAN, sudah pasti ketika bermain di tubir jurang atau tepi jurang (edge of the ravine). Bahaya mengancam jiwa, dan keselamatan. Kita semua bertanggung jawab mengingatkan Komisioner Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku Utara (Malut). Agar husnul khatimah, tidak berakhir dengan pemecatan dari DKPP.
KPU Provinsi Maluku Utara tengah dalam sorotan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 ini. Ada kejaggalan yang dipersoalkan dari keputusan KPU Malut. Tak lazim, sebelum-sebelumnya tak ada case proses pergantian calon Gubernur Malut di ''tengah jalan'' seperti ini. Komisioner KPU Malut akhirnya dicurigai masuk angin. Diduga tersandera atau telah menerima sesuatu.
Dari proses pergantian mendiang Benny Laos, sebagai calon Gubernur Maluku Utara kepada istrinya Sherly Tjoanda, polemik terus bermunculan. Peristiwa ini bisa menjadi bom waktu. Suka atau tidak, KPU Malut berada dalam pusaran konflik kepentingan (conflic of interest) politik.
Secara prosedural, pengambilan keputusan KPU Malut meloloskan Sherly dinilai cacat prosedur. Ada regulasi yang "dibegal", dan tidak transparan. Respon KPU Malut untuk mengklarifikasi hal terkait komplain terhadap Sherly juga terkesan tidak profesional. Solusi yang ditempuh tidak mengena jantung persoalan.
KPU Malut dianggap menghindar. Tidak hanya itu, diakui masih banyak pertanyaan publik yang belum terjawab tuntas, dan hingga kini belum dijawab KPU Malut. Akhirnya, KPU Malut dituding bersetubuh dengan kepentingan politik praktis dari calon Gubernur tertentu.
Ayo kembalilah pada tugas KPU yang mengkoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan dan memantau semua tahapan Pemilu, belum berjalan maksimal. Bahkan kerap offside. Komisioner KPU bukan menjadi trigger terhadap lahirnya turbulensi politik. Sejatinya mereka bukan endorser kandidat Kepala Daerah. Jangan mau menjadi alas kaki politisi tertentu.
Kalian orang-orang terhormat bukan babu. Tak boleh bermental inlander. Berpeganglah pada prinsip bahwa tuan atau majikan Komisioner KPU Malut adalah masyarakat. Kalian wajib menegakkan sikap mandiri, menjaga integritas, kemudian bekerja profesional.
Akibat dari keputusan KPU Malut yang meloloskan Sherly Tjoanda yang kontroversial itu, melahirkan polemik dan menyumbangkan bibit konflik sosial. Lalu siapa yang disalahkan selain KPU Malut?. Rasa-rasanya peristiwa ''pemaksaan'' kepentingan politik ini tidak boleh dibiarkan. KPU Malut memang beralibi bahwa mereka menerapkan hukum darurat. Ada force majeure (keadaan kahar).
Yaitu keadaan yang terjadi di luar kendali manusia yang dapat menyebabkan suatu pihak terlepas dari suatu kontrak yang ditentukan. KPU Malut di tengah sorotan masyarakat. Antara kredibilitas, kepercayaan publik, dan relasinya terhadap partisipasi publik dalam berdemokrasi.
Karena kelas menengah di Malut sebagian besarnya telah skeptis dengan integritas, netralitas, dan independensi para Komisioner KPU Malut dalam rezim Pilkada Serentak 2024 ini. Konsekuensinya dukungan elemen masyarakat terhadap segala program KPU Malut menjadi berkurang dan melemah.
Ada entitas masyarakat menyebut lolosnya Sherly sebagai calon Gubernur Malut merupakan buah dari skandal politik. Itulah nyatanya skandal politik. Bawaslu Malut juga dipertanyakan dalam hal ini. Kenapa diam dan tidak menjalankan tugas pengawasan secara radikal, teliti, dan tegas.