Perilaku barbar dan kacau-balau memang selalu kita temukan dalam pentas politik. Saling fitnah, politik uang, rekayasa hasil pemilihan umum, serta gaya tak terpuji lainnya dilakukan aktor politik guna memenuhi hasrat politiknya. Menang dengan mengakali dan ''membegali'' aturan. Parktek fraud dalam demokrasi seperti dibiarkan.
Tindakan tegas secara hukum yang semestinya dilakukan instansi berwenang malah tidak dilakukan dengan maksimal. Belum lagi dengan adanya klientelisme atau politik klien yaitu pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik, sering kali melibatkan sesuatu untuk sesuatu (quid pro quo), secara implisit atau eksplisit.
Praktek politik kita akhirnya menjadi hutan belantara yang di dalamnya tidak sedikit kita temukan ''binatang buas''. Para aktor dan oknum politisi rakus, bajingan, bermental broker tumbuh-kembang. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan tentunya. Bagi mereka selama ada peluang mendapatkan sesuatu (materi), maka segala upaya akan ditempuh.
Fungsi demokrasi yang seharusnya menjamin hak asasi manusia, menjamin keadilan sosial, menjamin keikutsertaan masyarakat dalam berdemokrasi dan pembangunan, menciptakan keamanan dan ketertiban, menciptakan kontrol sosial, serta menciptakan kebebasan berekspresi malah mengalami tantangan yang tidak mudah. Begitu rumit demokrasi berjalan pada koridor yang benar.
Para broker dalam tiap Pilkada, maupun Pemilu tidak mau kehilangan momentum. Mereka terbiasa bermain di tubir jurang. Dengan menyediakan ''fasilitas'' sebagai perantara, para broker memainkan perannya. Mendekati calon pemimpin publik yang ada politisi untuk menawarkan konsep kerja-kerja pemenangan, atau menjual isu. Sesudahnya mendekati masyarakat demi memuluskan misinya.
Beragam pendekatan mereka lakukan dan jual. Ada yang melalui operasi senyap, ada yang terang-terangan, sebagai spionase, dan seterusnya. Broker merupakan pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan pedagang lainnya dalam hal jual beli atau penjual dan pembeli. Tak bisa lagi disangkal panggung politik kita diwarnai dengan praktek klientelisme.
Yang paling nyata adalah hadirnya Lembaga Survei atau Lembaga Konsultan Politik. Tentu kesemuanya tidak gratis. Mereka menjual jasa untuk memenangkan klien. Bekerja untuk kepentingan klien. Semua bekerja dengan spirit dasar berbayar. Hal ini tentu berdampak mengacaukan demokrasi kita dalam kepentingan yang luas.
Perlu ada pendekatan yang holistik dalam mengurai satu persatu masalah yang melingkari, menggerogoti tubuh demokrasi kita. Berhenti membiarkan klientelisme dan praktek kesemrautan berdemokrasi dari broker menguasai beranda perpolitikan kita di tanah air. Kita harus benar-benar menunjukkan keseriusan membersihkan, membebaskan politik dari cara-cara jual jasa yang akibatnya merugikan masyarakat.
Demokrasi jangan dibiarkan tercebur, dikepung kotoran kepentingan sesaat. Libido kepentingan politisi jahat sesungguhnya akan mencederai dan merugikan masyarakat, karena cenderung menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu. Ketika demokrasi terbebas dari sandera, pergumulan panjang tersebut, maka yakinlah kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Keadilan, persatuan, penghormatan terhadap sesama otomatis dapat dibumikan.
Segala sumbatan-sumbatan demokrasi yang disumbangkan dari perilaku para politisi moralitas, etika, dan integritasnya masih perlu digugat penting untuk disterilkan. Banyak virus lain yang mengepung para politisi kita. Situasi tersebut sangat riskan, tak boleh dilakukan pembiaran. Mendiamkannya sama artinya menyerahkan demokrasi untuk disetubuhi para bandit. Demokrasi dibuat semakin berantakan.
Siklus yang hampir mirip dengan kaitan hubungan advokat (pengacara) dan klien (nasabah dan penerima jasa). Keduanya disatukan atas kepengan yang sama yaitu bersifat take and give. Membangun hubungan karena memiliki kepentingan yang sama. Saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Artinya relasi tersebut tidak bersifat permanen melainkan sesaat.