Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

Anomali Laporan Dana Kampanye

Diperbarui: 5 Oktober 2024   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret politisi culas (Dok. gambarantikorupsi.org)

TRANSPARANSI dalam praktek demokrasi di Indonesia menjadi persoalan tersendiri. Hal itu dapat kita saksikan di depan mata. Dimana para politisi yang berkontestasi tidak dibuka secara terang-benderang dan jujur aliran dana kampanyenya diperoleh. Ini bukan perkara mudah, kita perlu serius keluar dari kepalsuan berdemokrasi. Kita dijebak dalam frame keterbukaan parsial. 

Padahal dalam dokumen Perundang-undangan, khususnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum, telah diatur. Implementasinya masih kacau-balau. Perlu pembenahan. Jangan demokrasi kita seret mundur. Ya, lagi-lagi kita diajarkan untuk berpura-pura (feign) terbuka.

Seperti dilansir dari JPNN.com, Senin, 30 September 2024, dalam berita berjudul ''KPU DKI Jakarta Rilis Dana Kampanye 3 Paslon, RK Paling Besar, Dharma Terkecil''. Berdasarkan Laporan Awal dana kampanye pasangan Cagub DKI Jakarta, rupanya terdapat kejanggalan. Ada anomali yang perlu kita bongkar.

https://m.jpnn.com/news/kpu-dki-jakarta-rilis-dana-kampanye-3-paslon-rk-paling-besar-dharma-terkecil

Dapat kita lihat dana kampanye untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 dipublikasikan pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono sebesar Rp 1 miliar. Sementara itu, untuk Pramono Anung dan Rano Karno adalah sebesar Rp 100 juta. Ini bentuk lain dari kamuflase dalam bentuk dana kampanye ini cukup membahayakan demokrasi.

Tak hanya itu, pasangan calon Gubernur Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana memiliki dana kampanye awal paling kecil, yakni Rp 5 juta. Walaupun isyaratnya jelas, akan ada penyampaian dana kampanye lagi. Tapi, laporan awal dana kampanye itu rasanya tidak terlalu dipercaya publik.

Banyak rakyat yang ragu-ragu. Bahkan, mencibir adanya laporan keuangan (dana kampanye) ke KPUD DKI Jakarta tersebut. Masih ada problem serius dengan keterbukaan dalam proses berdemokrasi kita. Masih banyak politisi kita yang cenderung tertutup. Takut dengan keterbukaan informasi publik.

Bukan hanya di Pilkada DKI Jakarta. Di daerah-daerah lain juga fenomenanya hampir sama. Yaitu ketidakterbukaan para calon Kepala Daerah untuk menyampaikan keuangannya. Karena sangat kontras kalau kita komparasikan antara Dana Kampanye dengan atribut kampanye calon Kepala Daerah, serta konsolidasi (sosialiasi) yang dilakukan.

Mobilisasi massa yang banyak tentu tidak gratis. Sudah menjadi rahasia umum bagi kita rakyat Indonesia, sosialiasi calon Kepala Daerah atau politisi dalam tiap momentum politik selalu melibatkan finansial. Istilahnya, tak ada makan siang gratis. Rakyat juga telah terbiasa dibayar untuk kepentingan politik. 

Sebagai rakyat kecil, kita mendorong penyelenggara Pemilu dan penegak hukum menjalankan tugasnya secara benar. Mendorong keterbukaan informasi publik, menerapkan kejujuran dan profesionalitas. Agar calon Kepala Daerah bisa secara sadar melaporkan Dana Kampanye dan penggunaannya benar.

Tak memunculkan ketimpangan. Karena kalau dirinci, laporan Dana Kampanye dengan penyerapan atau penggunaan dana dari calon Kepala Daerah rasanya tidak berimbang. Lebih besar pasak daripada tiang. Kenyataan di lapangan lebih banyak dana yang dipakai, ketimbang Dana Kampanye yang resmi dilaporkan ke KPU.

Kalau situasi kesenjangan itu tidak dijawab penyelenggara Pemilu, wajar rakyat curiga. Jangan-jangan KPU dan Bawaslu sudah bermain mata, bersekongkol, atau berkompromi dengan para calon Kepala Daerah tersebut?. Tak boleh rakyat dijebak dalam kepalsuan. Dibiarkan dalam ketidakpastian penerapan aturan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline