Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi Sampai Mati

Politik Itu Unpredictible

Diperbarui: 1 Februari 2024   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Skenario politik 2024 (Dokpri)

DEMOKRASI kita berada di tubir jurang. Ini bukan dramatisasi dan upaya menggambarkan Pilpres 2024 berpotensi kacau. Namun, realitas lapangan menunjukkan potensi kecurangan dalam tahapan pemilihan umum besar probabilitasnya. Peta politik nasional juga berubah-ubah lanskapnya.

Begitulah politik yang bersifat unpredictable (tidak dapat diprediksi). Praktek cawe-cawe memperdagangkan idealisme. Menggadaikan prinsip-prinsip dan nilai universal milik masyarakat dengan libido untuk berkuasa, dilakukan. Terang benderang, tanpa malu abuse of power dipraktikkan.

Pada level ini common sense (akal sehat, kewajaran) publik dikotori. Kontrol kesadaran menjadi alat kelompok yang merasa dirinya kuat secara politik. Mobilisasi kekuatan dipertunjukkan. Terjadilah pergeseran yang drastis terhadap nilai-nilai demokrasi yang harus dijunjung tinggi, ironisnya dicederai.

Kegilaan dan ilusi Pilpres 2024 dilaksanakan "Satu Putaran" dikonstruksi. Media massa dan Lembaga Survei seperti didesain untuk punya frekuensi produksi hasil atau propaganda yang sama. Yakni menyajikan informasi-informasi yang bertujuan meyakinkan publik untuk percaya. Pertarungan udara pun dilakukan.

Sembari serangan pertempuran darat melalui pembagian Bansos dilakukan. Agitasi dan framing melalui media sosial, media massa intensif dilakukan. Uang atau materi dipertandingkan disini. Artinya, semua pertunjukan adu kuat itu tidak gratis. Ada paslon Capres yang gerakannya backfire (menjadi bumerang).

Ada pula yang menjadi power (kekuatan). Ditambah lagi situasi kita sekarang dimana masyarakat diperhadapkan pada kondisi pemilu dimasa susah, pasca pandemi Covid-19. Lalu, ada perilaku politisi atau calon pemimpin yang ''kemlinthi''. Yang dinilai kurang memiliki etika dan moral politik yang cukup.

Kemlinthi merupakan istilah Bahasa Jawa yang menggambarkan seseorang yang sombong atau sok tahu. Para elit politik dengan perangkatnya akan menggempur pihak lawan habis-habisan. Saling ''meracuni'', saling mempengaruhi pikiran publik gencar dilakukan. Berbagai platform media sosial digarap.

Pemilih undecided (bimbang) menjadi target dari tiga pasang calon Presiden Republik Indonesia yakni Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Perangkap atau kail yang digunakan adalah narasi, strategi, visi politik, dan rekam jejak. Masyarakat diajak untuk tidak Golput.

Ada pertarungan program vs gimik. Meski masih ada kesan calon Presiden dan calon Wakil Presiden kita yang underestimate (meremehkan) politik gagasan, kemudian mereka getol memamerkan gimik. Pemilih bimbang semakin bimbang, jika aktor politik tidak punya kesadaran ideologis seperti itu.

Masih mabuk gimik. Parahnya lagi, bila Bansos yang dipersonalisasi, sebagai pemberian seseorang. Padahal itu hak rakyat yang diperoleh dari negara. Karena Bansos merupakan kembalian atau rotasi dari hasil pajak masyarakat itu sendiri. Ketika Bansos menjadi instrumen politik, ini akan rawan konflik.

Kecenderungan pemilih disatu sisi yang amat sangat komprehensif harus terus diedukasi. Tidak boleh kita biarkan swing voters (pemilih mengambang) semakin bertambah. Mari kita tumbuhkan kesadaran pemilih dari unit-unit terkecil, literasi politik menjadi jalan terbaik yang perlu kita lewati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline