Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi Sampai Mati

Framing Menjadi Racun Demokrasi

Diperbarui: 4 Januari 2024   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahaya framing, ilustrasi (Dok. Thedecisionlab.com)

TIAP momentum politik kehadiran Lembaga Survei memang ramai membentuk opini publik. Sebagian rakyat tidak kaget lagi dengan kondisi tersebut. Tapi, bagi sebagian rakyat hal itu ikut dan sangat memberi pengaruh. Alhasil lahirlah rebutan pengaruh antara informasi dan isu. Yang mengaburkan fakta komprefensif di lapangan.

Kubu Capres (calon Presiden), bersama paket Cawapres (calon wakil Presiden) Republik Indonesia, perhari ini, Kamis, 19 Oktober 2023 masing-masing menampilkan performa yang berbeda. Citra, kesan, dan juga karakter pribadi berbeda-beda. Ketika kita menyaksikan AMIN atau Anies Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar mendaftar ke KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Kemudian Ganjar Mahfud (Ganjar Pranowo dan Prof. Mahfud MD) mendaftarkan ke KPU. Publik akan dapat menakar, memberi kesimpulannya sendiri terhadap gelombang massa yang begitu antusias memberi dukungan mereka. Menariknya, jika kita komparasikan dengan hasil Lembaga Survei, rasanya ada yang mis.

Hasil rilis Lembaga Survei rasa-rasanya bisa kita gugat dan pertanyakan. Maklum, mungkin karena yang diteliti atau diwawancarai hanya bersifat terbatas secara kuantitas. Kemudian yang disasar juga hanyalah elektabilitas, dan popularitas. Kecenderungan memilih yang dipotret.

Sebagiannya bersifat prediktif. Belum lagi sudah santer kita dengar rumor, pendapat beberapa pihat tentang kerja entitas Lembaga Survei yang tidak mengedepankan obyektifitas. Lembaga Survei dicurigai bekerja menjalankan order atau request tertentu. Maka, wajarlah juga hasil yang disampaikan diragukan.

Integritas dari para pimpinan, pekerja, atau karyawan dan relawan Lembaga Survei juga ikut dipertanyakan. Mereka mendapat gaji (upah) dari kerja profesional tentunya. Yaitu menjual jasa. Dalam situasi itu, tidak perlu lagi kita masuk mempertanyakan. Itu ranah mereka.

Hak publik ialah percaya atau tidak percaya terhadap hasil yang dilansir Lembaga Survei. Dari dukungan rakyat dan dukungan Lembaga Survei ada yang kontras. Bahkan, kontradiksi terlihat. Hal itu dapat dibuktikan di Pilkada DKI Jakarta, yang melahirkan realitas bahwa Lembaga Survei tidak akurat dalam menghasilkan data.

Gambaran tersebut menempatkan posisi dan level Lembaga Survei, menjadi tidak lebih hanya sekadar kelompok partisan. Lembaga yang menjadi mesin untuk membantu kandidat pemimpin (Capres dan Cakada) agar menang dalam kontestasi politik. Disinilah ruang kamuflase, kemudian modifikasi berpotensi dilakukan.

Padahal yang dibutuhkan publik dari duet Capres itu adalah narasi yang kuat. Bagaimana nasib rakyat akan dipertaruhkan disaat mereka memimpin. Yang selanjutnya, proses operasionalisasi itu dibangun melalui personal branding dari pasangan Capres, lalu isu yang dikelola, dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Program strategis akan menjadi kekuatan, dan modal memikat atau menarik pemilih untuk mendukungan pasangan Capres. Bukan dari kerja-kerja manipulatif dari kelompok yang doyan menyulap, mendaur ulang data, menambah, dan mengurangi data untuk kepentingan pencitraan semata.

Respons publik sudah pasti beragam. Sebagian besar pasti antipati, protes, lalu menjauh karena mereka telah meragukan dengan hasil-hasil rilis Lembaga Survei yang berjarak dengan situasi lapangan. Ada disparitas dari data yang diproduksi Lembaga Survei, ketika dikonfirmasi dengan realitas menjadi tidak kompatibel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline