Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

King Maker dan Privilege Politisi, Cermin Politik 2024

Diperbarui: 22 Mei 2023   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Akshay Anand/pexels.com


Tahun Pemilu 2024 akan tiba. Kini gerbang kontestasi demokrasi untuk menyeleksi kepemimpinan nasional di republik Indonesia mulai dibuka. Para bakal calon Presiden telah di-endorse. Para elit politik mulai mematok harga atas kader-kader andalan yang diusung. Tentu untuk kepentingan menang.

Penggalangan dilakukan, tukar tambah kepentingan, kompensasi politik menjadi pendekatan yang kerap dilakukan. Tidak ada yang musykil dalam politik. Lawan bisa berubah menjadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Ranah politik itu cair, dinamis, bahkan sering membuat gila. Memang politik punya tabir sendiri.

Ada sebagian politisi yang dalam kasusnya memiliki kesiapan relatif matang, tapi kalah dalam pertarungan politik. Sebagiannya tidak, mereka memenangkan pertarungan dari meminta-minta ibah para elit politik. Dengan modal membangun kompromi, dan siap menjadi babu para pemilik modal.

Sudah seperti itulah wajah, dan implementasi politik. Aktor politik yang bisa dikatakan telah surplus modal sosial, namun miskin dalam mengoperasionalkan visi, ide, atau gagasan yang dicanangkan itu. Hasilnya tidak menggembirakan. Mereka kalah dalam kompetisi politik.

Tantangan besar dari praktek politik yang liberal, ialah tidak adanya kepastian. Pemimpin berintegritas dan punya capital sosial belum tentu terpilih. Ada disparitas. Cela itulah yang memaksa politisi, calon pemimpin yang diidolakan rakyat harus berkonspirasi dengan cukong.

Inilah proses ''benchmark''. Realitas tersebut tidak dapat disangkal. Dari figur yang baik, dibandingkan dengan figur terbaik, begitu juga seterusnya dari visi yang baik menuju visi yang terbaik. Warga pemilih (konstituen) harus dicerahkan. Jangan biarkan alam pikiran mereka digerogoti kaum kapitalis.

Preferensi berbeda pilihan terhadap Capres dan Cawapres 2024 juga turun mewarnai. Harus ada batas propaganda yang dilakukan politisi untuk membujuk rakyat memilih kandidat yang mereka usung. Jangan berlebihan membangun narasi kebencian, memproduksi hoax, menyerang pribadi lawan politiknya.

Karena rakyat akan gamang pikirannya. Pada titik inilah distingsi diperlukan. Guna menjegal polarisasi di tengah-tengah rakyat kita perlukan alat filter. Jangan dianggap tidak memberi dampak kerusakan kicauan politisi tersebut. Apalagi mereka yang menjadi juru bicara, mesin pembangun opini publik dari masing-masing kandidat paslon Capres tidak terdidik dan melampaui batas.

Baik yang tampil di Televisi, siaran web atau siniar (Podcast). Diminta untuk jangan berlebihan mengagitasi publik. Tatanan sosial yang teratur akan terobok-obok bila para juru bicara ''politisi'' sesuka hati menyampaikan pikirannya secara liar dan brutal. Lagi-lagi harus ada batas etika.

Bila kita membaca konstelasi Pilpres 2024, para utusan parpol yang didaulat atau diutus bicara di publik adalah mereka yang terseleksi. Para politisi terbaik. Argumen, analisis, dan pengalaman lapangan mereka yang luar biasa. Dari sisi kualitas, tak perlu lagi diragukan. Kita rakyat kecil hanya mengingatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline