Prematur akhirnya sikap dan manuver Koalisi Besar, jika dilihat dari satu perspektif. Tapi, dalam perspektif yang lainnya, dengan mulai dirangkaikannya Koalisi Besar membuat keinginan Presiden Jokowi untuk mengusung Ganjar Pranowo terkabul.
Tidak mudah meyakinkan, apalagi mengintimidasi Megawati untuk memilih Ganjar. Hanya dengan dibentuknya Koalisi Besar yang sudah tentu akan mengurung Ganjar sebagai Capres 2024, membuat Megawati panik dan akhirnya lebih dahulu memutuskan Ganjar sebagai Capres dari PDI Perjuangan.
Megawati tentu tidak mau kadernya dicaplok. Megawati tentu sangat anti pembajakan kader. Dan tidak mau dipermalukan dengan menjadi pengikut atau penggembira politik. Apalagi gelandangan politik, Megawati tak punya kamus itu. Atas kondisi itulah, Ganjar diuntungkan untuk lebih cepat dideklarasikan Megawati (PDI Perjuangan). Analisis ini paling rasional dalam memetakan kecenderungan konstalasi politik yang ada.
Dari apa yang dilakukan Megawati tersebut membuat beberapa pimpinan partai politik (parpol) yang satu server, satu frekuensi dengan Jokowi tersenyum. Senang hatinya. Mereka pasti berfikir Megawati telah masuk "jebakan". Tinggal satu langkah lagi, posisi Erick Thohir menjadi Cawapres Erick. Apakah akan terbukti, ataukah Sandi yang balapan mampu merebut hati Megawati?. Wallahu wa'lam bisawab.
Untuk konteks hegemoni politik, rasanya tidak pernah bisa diputus atau diamputasi secara tuntas. Tetap saja, Megawati berpandangan ia masih memimpin klasemen. Sebagai pimpinan besar koalisi, Megawati mungkin berfikir telah mendahului, dan membuat Koalisi Besar kecolongan.
Bagaimana tidak, Koalisi Besar juga sedang menghadapi situasi yang serius. Dimana, krisis kader untuk dicalonkan sebagai Presiden 2024 terjadi. Mereka hanya menyiapkan stok Cawapres. Ini untuk ukuran elektabilitas berdasarkan Lembaga Survei. Walau hasrat besar, tapi tenaga mereka tidak cukup. Yakni melahirkan kader seperti Ganjar, Prabowo, dan juga Anies.
Sengkarut perbudakan politik masih terasa dalam prakteknya. Nampak, disaat partai politik "kecil" selalu menjadi pengekor bagi parpol "besar". Alasannya realistis, suara elektoral parpol besar dominan di parlemen dan menguasai di tingkat Kepala Daerah. Sungguh cara pandang yang pesimistik. Harusnya tidak menjadi pengekor.
Yang dipikirkan elit parpol secara keseluruhan selayaknya adalah perimbangan dan kesamaan politik. Masing-masing mereka punya hak yang sama untuk membangun koalisi. Jangan hanya memikirkan harus menang, lantas bergabung dengan parpol yang kira-kira berpotensi besar menang di Pemilu 2024.
Cara parpol tertentu mendompleng kekuatan parpol lain agar mendapat bagian atau jatah dalam kekuasaan sebelum pertarungan politik membawa hasil juga rasanya tidak elok dalam konteks pendidikan politik. Politik tak boleh menghalalkan segala cara. Terjadi degradasi dalam praktek politik inilah yang menciptakan bangsa ini darurat. Mulai berkurangnya politisi yang istiqomah menjalankan kebaikan dan kejujuran. Taat pada hukum.
Politik Ala Tukang Copet
Meminjam istilah Muhammad Romahurmuziy, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan, bahwa jika Partai Demokrasi "dicopet", maka kemungkinan Koalisi Perubahan bubar. Karena bagaimanapun, pergerakan Koalisi Besar, termasuk gesitnya PDI Perjuangan dalam menyikapi berbagai isu politik jelang 2024 tidak lain adalah untuk melawan Anies Baswedan. Kalau bisa dijegal, kenapa tidak.