Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

Keberagaman di Panggung Politik dan Narasi Agung

Diperbarui: 27 April 2023   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Amas (Dokpri)


Tuhan berfirman : ''Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di mata Tuhan adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu" (Qs. Al-Hujurt : 13).

Perintah, pesan, atau anjuran Tuhan di atas seperti terdistorsi dalam praktek keseharian kita. Nyaris terabaikan. Terlebih dalam interaksi politik. Pada hampir seluruh momentum kompetisi politik mempersoalkan keberagaman. Disparitas sosial tercipta. Keakraban tergerus.

Apa yang kita sebut disparitas sosial mulai tumbuh, dan kuat. Menjadi beton yang membatasi akses masyarakat. Skenario tersebut membuat publik kehilangan konsentrasi untuk bicara soal keadilan, pemerataan ekonomi. Keberpihakan pemerintah tersembunyi dari mata publik ''media massa''. Keberagaman malah dibuat menjadi biang keributan, begitu menyedihkan.

Penyimpangan seperti inilah yang harus kita lawan. Tidak boleh masyarakat dibodohi dengan trikmen seperti itu. Seharusnya keberagaman yang telah menjadi tuntunan ajaran agama kita masing-masing menjadi penuntut, bukan malah menjadi masalah. Keberagaman merupakan sunatullah.

Belum lagi tantangan kita adalah kesadaran masyarakat yang mulai tergerus. Kebaikan dalam politik yang dinarasikan, sulit sekali diterima. Seolah rasionalitas politik ditutup, dibutakan dengan politik transaksional. Tak jarang, ketika musim kampanye tiba edukasi politik mendapatkan penolakan.

Kalaupun ''terpaksa'' masyarakat mendengarkan kuliah atau pencerahan politik ''literasi'' itu hanya karena ada sesajen berupa rokok dan kue. Masyarakat juga mulai membangun pemahaman tentang adagium tak ada makan siang gratis dalam politik. Inilah tantangan nyata bagi politisi, dan kita semua.

Salah satu alat membungkam kritik ialah dengan cara-cara justivikasi dan stigma buruk. Berbeda dianggap melawan, berbeda atau keberagam dituduh antipati. Sebetulnya dari sisi diksi, maupun interpretasi tak ada masalah. Hanya karena kompetisi politik, para aktor mengambil jalan yang tidak lazim, provokasi dilakukan. Menghancurkan keberagaman.

Insentif politik yang buruk ikut meruntuhkan rasionalitas masyarakat. Politik yang mengedepankan jual beli suara, rekayasa, dan mengambil jalan pintas membuahkan hasil berupa adanya pemilih yang kian pragmatis. Tidak mau ambil pusing dengan persatuan. Tidak menghormati keberagaman.

Jangan memandang keberagaman sebagai problem. Keberagaman selayaknya menjadi kekuatan dan keistimewaan bagi negara Indonesia. Bahkan, mirisnya keberagaman dimaknai seolah-olah menjadi sikap anti demokrasi. Makin sesatlah kita semua kalau begitu cara pandangnya.

Destruksi terjadi pada seluruh dimensi. Baik dalam urusan sosial, politik, ekonomi, penegakan hukum, bahkan mulai ada penyimpangan pesan-pesan agama yang distempelkan karena kepentingan politik semata. Politisasi agama masif dilakukan. Sebetulnya keberagaman membuat kita saling kenal-mengenal.

Bukan saling membenturkan atau bermusuhan. Perbedaan, keberagaman dijadikan elemen pemersatu. Bukan menjadi entitas yang memicu konflik. Makna keberagaman menjadi begitu dangkal akhir-akhir ini, proses pendangkalan itu terjadi kebanyakan karena kompetisi politik yang liberal. Berbeda dianggap musuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline