KERAP terjadi kesenjangan dan benturan dalam kerja-kerja lembaga pemerintahan. Hal itu bisa kita lacak di lapangan. Satu institusi dan yang lainnya tak saling bersinergi. Bahkan ada ego sektoral. Sebut saja, seperti Penyelenggara Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tugasnya melahirkan Pemilu berkualitas, tapi kerjanya saling melahirkan friksi.
Antara kerja menyelenggarakan Pemilu, dan yang mengawasi rupanya saling menciptakan tembok. Ada sekat, pada orientasinya untuk kebaikan demokrasi. Menghasilkan proses berdemokrasi yang bermutu demi kemajuan rakyat. Bukan ribun pada urusan teknis, rebutan kepentingan domestik.
Sebut saja instrumen yang digunakan seperti Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan Sistem Data Pemilih (Sidalih). KPU yang mengendalikan, menajdi user ''pengguna'' dari Silon dan Sidalih, harusnya adil. Menjunjung tinggi transparansi, menempatkan posisinya secara imparsial dengan Bawaslu.
Ada kesenjangan dalam penerapan. Kesemrautan manajemen, benturan di lapangan terpotret dalam penyampaian Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja. Bahwa password atau alat akses terhadap Aplikasi Silon maupun Sidalih masih terbatas dimiliki jajaran Bawaslu. KPU dan jajarannya memberi batasan mengakses. Ada apa?.
Tugas Komisioner itu bekerja menjalankan amanah konstitusi, bukan bertengkar dan saling menghambat kerja. Seharusnya dimengerti, ketika pengawasan ketat dan selektif dari Bawaslu dilakukan, maka keberhasilan, kualitas demokrasi terwujud. Pemilu dapat diselamatkan dari kecurangan.
Kalau KPU niatnya menerapkan prinsip Jurdil dan Luber, tidak perlu menunjukkan ekspresi kepanikan. Merasa ''tidak nyaman'' jika memberikan akses seluas-luasnya kepada Bawaslu untuk mengawasi sistem, kerja yang dilakukan KPU. Toh semua itu demi kebaikan bersama ''bonum commune''.
Seluruh penyelenggara Pemilu mestinya sudah tuntas mindsetnya terkait kerja kolaborasi. Menghindarkan prasangka, saling curiga. Jangan seolah-olah menunjukkan ada agenda terselubung, agenda tersembunyi yang diemban Komisioner KPU. Begitu pula Bawaslu, bekerjalah secara benar.
Tak boleh ikut lenggang agresi politik dari para politisi. Melalui kerja terbuka, kerja bareng, demokrasi akan tumbuh subur dan berjalan pada rute yang benar. Tidak menyesatkan. Sejauh ini, dalam rangka menuju Pemilu 2024, banyak polemik mulai menyasar KPU. Ini tanda yang mengkhawatirkan.
KPU segeralah berbenah. Jangan seperti orang yang sedang traumatik dan fobia. Bangunlah cara berfikir yang inklusif. Kedepankan kerja gotong royong. Kerja kolaborasi akan membuat demokrasi kita berkualitas tinggi. Tentu bekerja untuk mengadaptasikan atau mengamalkan regulasi Pemilu.
Belum lagi prombel penyelenggara Pemilu lainnya yang tak bisa kita abaikan ialah ragam isu menyeret Ketua KPU Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy'ari. Baik soal dugaan gratifikasi sex, sistem proporsional tertutup yang masih dalam bentuk wacana ''prematur'' telah dilempar Ketua KPU RI ke publik.
Belum lagi vermin dan verfak partai politik (Parpol) yang menuai banyak protes dan laporan ke Bawaslu, DKPP, hingga demonstrasi berjilid dari partai rakyat adil makmur atau PRIMA. Realitas tersebut menandakan KPU di era ini banyak memproduksi masalah.