Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

Megawati dan Jokowi Tak Bisa Diprovokasi

Diperbarui: 16 Januari 2023   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Amas (Dokpri)


JANGAN
pisahkan Presiden Joko Widodo dengan Megawati Soekranoputri. Keduanya aset bangsa ini. Menyikapi polemik ''Megawati  diduga lecehkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia'', saya setuju dengan pernyataan relawan Jokowi, yakni Bang Benny Rhamdani, Ketua Umum Barikade 98, yang juga Kepala BP2MI.

Bahwa tidak mungkin rasanya seorang Ibu Mega, tokoh besar, pemimpin partai politik besar lalu sengaja merendahkan, menghina Pak Jokowi. Benny tak melihat ada kepentingan itu. Jika dilakukan untuk kepentingan tersebut, tentu tidak elok, tidak pantas. Benny mendudukan pernyataan tersebut secara fair. Benny mengatakan pidato Megawati adalah diacara internal PDI Perjuangan.

Pidato Megawati, disebut Benny secara keseluruhan diapresiasi banyak pihak. Benny memaklumi, karena style Megati tidak menghina atau tidak melakukan pelecehan terhadap Pak Jokowi. Bahkan lebih lanjut, Benny menyebut publik mengetahui saat Pilpres 2004 Megawati dan Hamzah Haz, dicalonkan Presiden, tapi tidak menang.

Mega-Prabowo juga dicalonkan pada tahun 2009, tapi tidak menang. Berbeda dengan situasi dan keterpilihan Jokowi berikutnya 2 periode terpilih, diusung PDI Perjuangan dinilai memiliki rekam jejak sebagai orang baik. Sebagai sosok yang merakyat. Itu dicatat dalam sejarah besar bangsa Indonesia. Menurut Benny ada faktor parpol, serta ada faktor Jokowi.

Pidato politik Megawati di acara HUT PDI Perjuangan ke-50, menuai multi tafsir. Ada spekulasi dan asumsi yang menyebutkan PDI Perjuangan tengah menekan Jokowi untuk melakukan reshuffle Kabinet, mengganti Menteri dari Nasdem. Beberapa penggalan yang disoroti ialah ''Pak Jokowi itu mentang-mentang, Pak Jokowi kalau ngga ada PDI Perjuangan aduh kasihan deh''.

Kalau ditelisik, dielaborasi kekuatan politik Jokowi dan Megawati atau PDI Perjuangan saling menguatkan. Saling menguntungkan secara elektoral. Dimana ketertarikan publik, pemilih untuk menjadikan Jokowi sebagai Presiden selama 2 periode, bukan tungga kekuatan PDI Perjuangan.

Namun juga karena kekuatan, dan keunggulan Jokowi secara personal. Beliau dianggap pempin simple, yang low profile. Tidak melangit, melainkan bersikap membumi. Faktor ini perlu dihitung, karena menjadi magnet, menjadi modal untuk memenangkan Jokowi yang notabene didukung PDI Perjuangan.

Begitu pula peran, kelebihan, dan kekuatan PDI Perjuangan sebagai partai politik. Secara legal formal, PDI Perjuangan melengkapi kemenangan Jokowi. Karena untuk menjadi calon Presiden, Jokowi memerlukan tiket partai politik untuk mendaftar ke KPU. Jadi keduanya, Jokowi dan Megawati saling take and give.

Pernyataan tidak elok, tidak pantas, dianggap seolah-olah dilakukan Megawati. Satu dua pihak geram atas hal itu. Terlebih mereka yang senang ''menggoreng'', doyan mencari-cari kelemahan Ketum Umum PDI Perjuangan. Sehingga, diksi kemenangan Jokowi seolah-olah disimpulkan karena kekuatan PDI Perjuangan, dinilai tidaklah fair. Bahkan, didramatisasi.

Faktor figur Jokowi sangat penting. Bisa jadi yang disampaikan Megawati adalah guyon. Karena Megawati, serta PDI Perjuangan, kata Benny telah memiliki kesadaran politik. Yang mengerti betul bagaimana pengaruh figur tertentu, dan bagaimana peran partai politik. Artinya, kedua kekuatan tersebut harus bersatu atau disatukan.

Sepertinya ada kekuatan eksternal yang sangat berkepentingan membuat renggang Jokowi dan Megawati agar berkonflik. Padahal kalau mau jujur, demi kebenangan bersama keduanya sangat membutuhkan. Tidak boleh dipolarisasi. Ketika Jokowi dan Megawati terbelah, maka kekalahan akan terjadi dalam Pemilu 2024.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline