Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

Demokrasi Lahirkan Pemimpin Demagog

Diperbarui: 13 Juli 2023   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Amas (Dokpri)


BEGITU
sederhana para politisi mengkonstruksi retorika politiknya. Di atas panggung politik kekuasaan diobral, mereka membius rakyat dengan optimisme. Tapi tak jarang argumentasi, narasi yang diubar itu tidak sesuai dengan realisasinya. 

Mahal nihil, harapan tersebut terwujud. Inilah model pemimpin demagog, pemimpin yang pandai menghasut rakyat demi meraih kekuasaan. Mereka mengandalkan retorita politik. Banyak modusnya, rakyat dijadikan alas kaki semata.

Pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya, itu tidak sedikit. Merekalah pemimpin 'demagog', yang mengambil bagian berpaling menerkam kepentingan rakyat. Lalu, menyulap, merekayasan itu, sehingga keuntungannya digunakan untuk kepentingan pribadi. Pemimpin seperti ini senang berkamuflase.

Karena pemimpin demagong, biasanya cenderung provokator. Jarang mereka bicara atau memikirkan integritas maupun reputasi. Yang ada di otak mereka hanyalah kepentingan pribadi. Menang merebut, merampas apa yang hendak mereka targetkan. Tidak peduli dengan nilai moralitas.

Merujuk pada defenisi atau terminologi, demagog merupakan istilah politik yang berasal dari bahasa Yunani 'demos'. Yang bermakna rakyat, dan 'agogos', pemimpin dalam arti negatif. Yaitu pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.

Tampilan seperti inilah yang bisa dikaterogikan sebagai manusia pemangsa manusia. Homo homini lupus, yang disampaikan Thomas Hobbes itu benar-benar terjadi di lapangan. Politisi kita di Indonesia juga banyak terjangkit, tertular penyakit rabies seperti itu. Tidak segan memakan bangkai teman, saudara sendiri. Manusia menjadi bengis karena rebutan kekuasaan.

Demi kepentingan kekuasaan, kelompok, dan pribadi, fitnah saling serang dilakukan. Seolah tak takut dosa, tidak segan-segan menyakiti lawan politik. Pihak yang berbeda kepentingan politik pasti diterkam. Tanpa ada perasaan kasihan, rasa ibah sedikitpun. Politisi demagog terus bergentayangan.

Mereka seperti tidak pernah mati. Selalu tumbuh subur. Mati satu tumbuh seribu, kaderisasi mereka yang acak-acakan, tidak jelas itu tapi menghasilkan pertumbuhan yang pesat. Buktinya begitu, politisi demagog tidak pernah ketinggalan momentum. Mereka menyusup, berada, menyerupai, dan hadir dalam momentum politik yang strategis.

Tidak bermaksud melakukan underestimate pemimpin tertentu. Melainkan dijadikan sebagai renungan, pressing untuk melahirkan kesadaran publik bahwa tidak boleh demokrasi memberi kesempatan untuk terlahirnya pemimpin yang demikina. Pemimpin yang memiliki preferensi merusak peradaban masyarakat. Yang setelah terpilih dari proses elektoral malah mengabaikan rakyat.

Pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan sendiri ''demagog''. Kenapa demikian, masih ada pemimpin bermental penjajah bertebaran, pemimpin yang mengeluarkan kebijakan tidak selaras dengan harapan publik. Itu dikarenakan ruang-ruang demokrasi terlalu dibuka. Demokrasi menjadi pentas pasar bebas.

Mereka calon pemimpin, politisi yang memiliki modal finansial yang membelanja suara-suara rakyat yang terpilih dari proses demokrasi yang ''liberal'' tersebut. Kerang demokrasi yang lebih memberi kesempatan kepada para pemilik modal inilah yang membuat konstituen menjadi pangsa pasar yang menggiurkan bagi pemodal. Suara rakyat dibeli, ditukar tambahkan dengan uang atau paket sembako.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline