Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Literasi progresif

MSM, Sosok Pemimpin Muda Progresif

Diperbarui: 23 Desember 2022   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

M. Syukur Mandar (Dokpri)


KERAP
para aktivis pergerakan mahasiswa memanggilnya MSM, Syukur, atau Bang Uku. Sosok politisi muda yang satu ini akrab di kalangan masyarakat. Bukan hanya penggerak. Kemampuan MSM tidak hanya pada wilayah praktis. Pria yang memiliki nama lengkap Muhammad Syukur Mandar, SMH.,MH, ini juga merupakan potret politisi intelek. Pemikirannya luas dan santun dalam tutur kata.

Bang Uku dalam karirnya pernah mendapat amanah sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Menjadi calon Bupati Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2015. Lelaki kelahiran Maluku Utara ini kini berkiprah di Jakarta. Sejumlah pikirannya menjadi jalan tengah untuk membangun daerah. Figur muda yang dirindukan banyak langan di daerahnya.

Pertumbuhan dan progresifitas MSM, bukan tanpa dasar ternyata. Sejak menjadi mahasiswa, MSM menghabiskan waktu untuk menjadi aktivis organisasi di Himpunan Mahasiswa Islam. Hingga masuk dijajaran Pengurus Besar (PB) HMI. Sebuah capaian berorganisasi yang membanggakan, tidak semua aktivis mampu mencapainya.

Dalam memberikan respon terhadap situasi politik nasional, MSM sering tampil dengan perspektif yang berbeda. Melihat masalah secara utuh 'komprehensif'. Sebagai jebolan aktivis pergerakan yang selalu cemas, berontak dalam melihat kepentingan-kepentingan rakyat kecil diabaikan, MSM tentu membutuhkan sekutu dan instrumen untuk berbuat lebih banyak demi membala kepentingan rakyat termarginal.

Sosok pemimpin muda yang jernih pemikirannya. Memelihara praktik literasi. Membangkitkan kesadaran kritis, menyelamatkan rakyat melalui membentuk komunitas yang anti politik uang. Hal yang tidak semuanya diperhatikan politisi. Bagi MSM, memeliharan dan mengambil posisi diam di tengah maraknya politik pragmatis, politik transaksional, berarti sama saja kita ikut menggadaikan rakyat. Menghancurkan masa depan daerah dan juga masa depan negara Indonesia tercinta.

Atas ragam alasan ideologis, MSM meminta kalangan milenial, kaum intelektual, dan midle clas atau kelas menengah untuk mengambil peran strategisnya. Melakutan literasi politik. Jangan biarkan rakyat kecil terpapar politik uang. Yang pada akhirnya melahirkan pemimpin korup. Karena rumus umumnya seperti itu. Jika pemimpin politik pemimpin politik terpilih melalui cara politik uang, maka rentan baginya untuk melakukan korupsi.

Memanfaatkan jabatannya demi raih kekayaan sebesar-besarnya. Monopoli kekayaan, atau upaya mengembalikan modal uang 'finansial' yang dikeluarkannya. Paling tidak, ketika seorang Kepala Daerah saat kampanye, suksesi Pilkada berkompromi dengan pemodal, hal itu akan menyandera dirinya dalam pengambilan kebijakan setelah terpilih kelak. Kondisi kooptasi ini juga membahayakan rakyat.

Konsekuensinya, kemajuan daerah menjadi terhambat. Keberlangsungnan kepentingan, kesejahteraan rakyat tersandera. Sukar rasanya terwujud secara penuh. Yang ada dalam kebijakan pemerintah daerah, akhirnya hanya program pamer. Yang bersifat jangka pendek, tidak menyentuh pada substansi kepentingan rakyat yang jangka panjang.

Bertolak dari semangat memperbaiki, perjuangan MSM patut didukung. Perlu ada kesadaran kolektif untuk menopangnya. Melalui sosialisasi yang ekstrasi kelompok yang telah menyadari resiko politik uang menjadi motor penggerak kampanye melawan politik uang. Jangan dibiarkan suara rakyat dibelanjakan. Menjadi alat tukar untuk memilih pemimpin dengan menerima atau memberi sesuatu. Itu model politik konsesi.

Politik ganti rugi yang merusak demokrasi. Rakyat Halmahera Barat, harus diberi bekal yang cukup. Agar tidak menerima begitu saja serangan politik uang, politik sembako yang dilakukan politisi-politisi yang kurang memiliki kepekaan terhadap masa depan demokrasi. Para pelaku politik uang, sejatinya adalah penjahat demokrasi. Mereka layaknya diberi sanksi oleh rakyat.

Tak boleh lagi memilih penjahat atau bandit. Memilih mereka berarti kita rela memberikan, menyerahkan daerah untuk dihancurkan. Politisi yang mengedepankan politik uang hanya mau menang dan mendapatkan kekuasaan yang mereka tuju. Setelahnya, mereka akan mementingkan kepentingan sendiri, kepentingan keluarga. Dan juga kepentingan politiknya. Lalu, mengabaikan rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline