Lihat ke Halaman Asli

Apa Keterkaitan Penghafal Al Qur'an dan Kesucian Al Qur'an?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya, tradisi dan kultur nya orang Arab itu adalah tradisi lisan dan menghafal, bukan menulis apalagi menggambar. Tradisi menghafal itu berperan penting dalam proses kelahiran Al Qur'an sampai dengan dibukukan pertama kalinya.

Sejarah singkat turunnya Al Qur'an

Kita bisa melihat uraian singkat wikipedia untuk mengetahui secara singkat kisah turunnya Al Qur'an, yaitu :

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.


Setiap kali Muhammad SAW menerima wahyu berupa sebagian ayat-ayat Al Qur'an, maka Muhammad SAW akan memanggil sahabat terdekatnya untuk ikut menghafalkannya dan menuliskannya.

Ada beberapa sahabat yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan. (sumber: wiki)

Lha katanya tradisinya adalah tradisi lisan/menghafal, kok ditulis juga ?

Itu benar, namun yang menjadi patokan adalah bahwa cara pengucapan (pronoun) ayat yang dihafal itu harus tetap sama dengan yang cara pengucapan oleh Muhammad SAW.

Pada saat itu, penulisan dalam bahasa arab masih menggunakan huruf arab gundul dengan sangat sedikit tanda jika tidak ingin disebut tanpa tanda baca sama sekali.

Saya analogkan dalanm bahasa Indonesia. Misal ada kata strs, maka itu bisa dibaca menjadi beragam ucapan seperti sitores, setres, atau sotorusa.

Nah karena tradisinya adalah tradisi menghafal, tulisan strs yang membuat kita bingung bagaimana cara membacanya itu, pasti akan dibaca dengan akurat oleh para penghafal tersebut sesuai dengan hafalannya dan dengan pronoun yang sama dengan yang diajarkan oleh Muhammad SAW.

Jadi keberadaan tulisan tanpa tanda baca pada saat itu memang sesuai dengan kondisi bangsa Arab pada saat itu yang lebih mementingkan tradisi lisan dan menghafal. Oleh karena itu, peran tulisan pada saat itu sekunder sifatnya jika dibandingkan hafalannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline