Lihat ke Halaman Asli

Sapa Perempuan Tua

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1362018050936967609

[caption id="attachment_229779" align="aligncenter" width="300" caption="edited by bungil"][/caption]

Perempuan tua itu selalu berdiri di sisi kiri jalan. Berdiri serupa orang hendak menyeberang. Tapi tak juga melangkah meski jalan kecil itu sepi kendaraan. Dia hanya berdiri tegak memegang payung hitam yang terkembang. Yang meneduhinya saat panas mentari menyengat. Atau saat hujan mengguyur lebat. Hanya berdiri saja yang dia lakukan. Sampai Nala tiba di jalan itu untuk melangkah pulang.

Dan selalu menyapa Nala dengan kalimat yang tak pernah berubah, “baik-baik saja kau, nak?”

Sejak dulu! Sejak tiba-tiba orang tua Nala memutuskan tak lagi mengantar jemput Nala ke sekolah. Sejak Nala duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sejak saat itulah Nala selalu melihat perempuan tua itu di sisi kiri jalan. Berdiri dengan payung hitamnya. Dengan pakaian bermotif bunga-bunga yang sudah pudar warnanya. Dengan sorot mata sedih yang tak pernah hilang. Dengan sapa yang sama. Sapa yang hanya ditujukan untuk Nala.

Dan Nala akan menjawab sapa itu sesuai suasana hatinya. Kadang dia menjawab dengan penuh keramahan.

“Baik, ibu. Ibu baik juga kan?”

Atau kadang Nala hanya tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya. Tapi tak jarang Nala hanya menanggapi sapa itu dengan lirikan kesal.

Sebenarnya perempuan tua itu tak pernah mengganggu Nala. Dia hanya berdiri saja di sisi kiri jalan. Hanya menyapa Nala dengan kalimat yang sama. Dan berlalu pergi tanpa menoleh lagi ke arah Nala. Hanya itu yang dilakukannya. Dia tak pernah berkata lain selain kalimat sapaan. Bahkan pernah suatu ketika Nala berhenti saat disapa. Bertanya tentang siapa dan apa maksud perempuan tua itu selalu menunggunya. Tapi tak ada jawaban. Hanya seulas senyum penuh keibuan. Dengan sorot mata sedih yang tak pernah lepas. Dan berlalu meninggalkan Nala.

***

Tapi sudah sebulan ini, Nala tak pernah lagi menjumpai perempuan tua itu di sisi kiri jalan. Tak pernah lagi mendapat sapaan yang sama. Tak pernah lagi melihat perempuan itu menunggunya. Tepatnya, sejak Nala menyerang perempuan tua itu dengan membabi buta. Dengan kata-kata pedas dan suara keras. Dengan kemarahan yang meledak!

Ahh...seharusnya Nala tak melakukannya. Teramat kejam bagi perempuan tua itu. Karena toh perempuan tua itu tak pernah mengganggu Nala. Hanya menyapa.

Seharusnya Nala tak memperdulikan olok-olok temannya. Tentang kemungkinan perempuan tua itu ibu kandungnya. Tentang kemungkinan dia hanya anak pungut dari orang tuanya. Tentang hal-hal konyol sebagai olok-olok teman sebaya. Seharusnya Nala tak memperdulikannya. Bukankah ibu kandungnya sendiri sudah meyakinkan Nala tentang statusnya? Bukankah dia sendiri sudah melihat surat kelahiran yang dikeluarkan pihak rumah sakit bersalin di mana Nala dilahirkan? Bukankah di situ tertulis nama ayahnya yang aparat penegak hukum dan nama ibunya sebagai orangtua kandung? Bukankah seharusnya Nala tak perlu risau akan olok-olok temannya?

Toh perempuan tua itu hanya menyapa Nala. Hanya bertanya tentang keadaan Nala. Hanya itu yang dilakukannya. Hanya itu yang membuat perempuan tua itu lega. Dan bisa melanjutkan harinya dengan lebih tenang.

Jadi tak seharusnya Nala sekarang merasa kehilangan. Tak seharusnya Nala terlihat kebingungan setiap pulang dan tak mendapati perempuan tua itu di sisi kiri jalan. Bukankah itu yang diinginkan Nala? Bukankah itu yang dikatakan Nala padanya? Bukankah keberadaan perempuan tua itu mengganggu Nala?

Jadi kenapa Nala sekarang bimbang? Kenapa Nala jadi merasa kehilangan? Kenapa Nala sekarang mencari tahu tentang keberadaannya? Sampai-sampai bertanya kesana kemari tentang identitas sang perempuan. Sampai-sampai Nala bertanya pada orang-orang sekitar. Pada tukang ojek yang mangkal di pinggir jalan. Pada ibu penjual nasi pecel yang tak jauh dari sisi kiri jalan.

“Kau tahu siapa perempuan tua berpayung itu?”

Bertanya pada orang-orang yang selalu menyaksikan sapa perempuan tua pada Nala.

“Kau tahu di mana perempuan tua itu tinggal?”

Pada siapa saja yang ditemuinya. Setiap orang selalu ditanyainya.

“Mana perempuan tua itu?”

Sampai-sampai setiap hari Nala menghabiskan waktu hanya untuk menanyai orang-orang yang lewat. Berjalan hilir mudik di jalan masuk kompleknya. Sepanjang hari menunggu perempuan tua itu datang. Sepanjang hari merindukan sapa sang perempuan tua.

Ahh...menyesal? Benarkah Nala menyesal? Hmm...memang sepantasnya Nala menyesal. Karena apa yang dilakukan Nala memang teramat kejam. Wajar perempuan tua itu tak lagi ada. Wajar perempuan tua itu tak pernah lagi terlihat. Wajar! Karena memang apa yang dilakukan Nala sudah keterlaluan.

Masih jelas semua caci maki Nala terdengar di telinga. Tak hanya perempuan tua itu yang tercekat oleh kata-kata Nala. Bahkan tukang ojek, ibu penjual nasi pecel dan orang-orang sekitar yang saat itu mendengar bentakan Nala mengerutkan dahi heran melihat Nala meledak marah.

***

Siang itu sinar mentari sangat menyengat. Seperti biasa, perempuan tua itu berdiri di sisi kiri jalan memegang payung hitam yang terkembang. Menyapa Nala dengan kalimat yang sama.

“Baik-baik saja kau, nak?”

Seperti biasa. Seperti bertahun lewat. Seperti hari-hari Nala yang biasa. Tak ada yang berbeda!

Nala hanya perlu meneruskan langkah jika enggan menjawab. Atau melirik kesal seperti biasa saat suasana hatinya sedang tak enak. Perempuan tua itu bahkan sudah bersiap melangkah saat tiba-tiba Nala berhenti di depan perempuan itu dengan berkacak pinggang. Dengan wajah tegang dan sorot mata penuh amarah.

“Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa selalu menggangguku? Apa kau tak punya kerjaan lain selain mengganggu anak orang?”

Tak hanya perempuan tua itu yang tercekat. Kerasnya suara Nala terdengar sampai di telinga para tukang ojek yang sedang mangkal. Terdengar sampai ke warung ibu nasi pecel yang sibuk melayani pelanggan.

“Berhenti mengangguku! Aku tak mengenalmu. Kau hanya membuatku malu! Pergi! Aku tak ingin melihat kau lagi. Aku tak ingin mendengar sapamu lagi. Aku muak! Pergiiiiii!!!”

Dan tubuh perempuan tua itu terhempas keras ke tanah berbatu di pinggir jalan oleh dorongan tangan Nala. Membuat ibu nasi pecel memekik keras. Membuat tukang ojek berlarian mendekat. Membuat Nala semakin meledak!

“Aku jijik melihat pakaian kumalmu. Aku muak melihat sorot mata sedihmu. Aku muak kau tahu? Pergi sana! Pergi ke anakmu sendiri. Suruh anakmu mengurusimu. Suruh anakmu membelikanmu baju yang bagus. Suruh anakmu mendengar sapamu setiap waktu. Aku benci melihatmu!!”

Bukan caci maki Nala yang membuat perempuan tua itu berlinang air mata. Bukan karena dorongan keras tangan Nala yang membuat tubuh kurusnya terhempas di atas tanah. Bukan juga rasa sakit karena sebongkah batu besar yang terbentur tubuhnya hingga membuat lebam.

Tapi untuk kata-kata Nala yang menyayat hatinya. Yang membuatnya kembali teringat akan hidupnya yang sebatang kara. Atas kecelakaan maut yang merenggut suami dan anak semata wayangnya yang seusia Nala. Atas kebahagiaannya yang terenggut paksa oleh kecerobohan ayah Nala saat berkendara. Hingga membuat suaminya tewas seketika. Hingga membuat anaknya meregang nyawa. Hingga membuat perempuan tua itu kini hidup penuh kesedihan.

Hanya dengan berdiri di tepi jalan tempat kecelakaan itu dia masih bisa merasa memiliki keduanya. Hanya dengan menyapa Nala dia bisa terhibur oleh kerinduannya yang besar pada anak semata wayangnya. Hanya dengan itu dia merasa bahagia.

Dan tega sekali Nala merenggut sisa kebahagiaannya. Kejam sekali Nala memperlakukan perempuan tua yang tak mendapat keadilan atas kematian kedua orang tercinta. Jahat sekali Nala menyakiti perempuan tua yang selalu hidup dalam kesedihan.

Perbuatan Nala benar-benar tak termaafkan! Membuat kebencianku tumbuh pesat memenuhi jiwa. Membuatku ingin membalas semua kesedihan yang ditimbulkannya.

Wajar bukan jika aku membencinya? Wajar bukan jika aku kemudian membalas sakit hati perempuan tua itu? Wajar bukan jika aku merasuki jiwa Nala hingga membuatnya gila? Hingga membuat hari-harinya dihabiskan untuk berputar-putar dan menanyai setiap orang.

Hahahaaa...wajar bukan?

Karena memang pantas Nala mendapatkan balasan atas perlakuannya yang kejam. Gara-gara Nala aku tak lagi melihat ibuku berdiri di sisi kiri jalan. Gara-gara Nala ibuku terluka. Gara-gara Nalalah kini ibuku hanya memendam kerinduannya dalam duka yang panjang.

Semuanya gara-gara Nala! Jadi wajar jika kubuat Nala terus merasa menyesal sepanjang hidupnya!

***

Goresan cerita bungailalang




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline