Menjelang akhir tahun 2014 setidaknya kita harus melihat tantangan dan peluang yang akan dihadapi Indonesia selama beberapa tahun ke depan. Target pemerintahan Jokowi terkait pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen selama lima tahun ke depan namun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 yang disusun Bappenas, pertumbuhan ekonomi dipatok di kisaran 6-8 persen. Angka kemiskinan pada 2019 ditargetkan sebesar 6-8 persen dan angka pengangguran 5-5,5 persen. Posisinya saat ini angka kemiskinan per Maret 2014 adalah 11,35 persen dan angka pengangguran per Februari 2014 adalah 5,94 persen.
Tidak cukup sampai di situ, dalam dokumen yang sama, pemerintah menargetkan Indonesia akan naik kelas dari negara berpendapatan menengah-bawah ke menengah-atas. Oleh sebab itu, lima tahun ke depan amat krusial bagi pemerintah untuk mempercepat laju perekonomian di tiga tahun pertama.
Untuk menuju kesana perlu dilihat dari kedekatan isu yang akan dihadapi oleh Indonesia yaitu ASEAN Economic Community (AEC) 2015 dengan rencana penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diharapkan dapat mendorong perdagangan barang dan jasa menjadi lebih mudah. Pada sisi lain, persaingan tenaga kerja akan menjadi lebih ketat karena kemudahan lalu lintas tenaga kerja dari sesama negara anggota ASEAN. MEA akan membuka pasar tenaga kerja untuk profesi arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, insinyur, praktisi media, dokter gigi, dan akuntan. Karena itu MEA pada dasarnya bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan sebab keberhasilan menghadapi AEC nanti tergantung bagaimana kesiapan dari negara dan perusahaan masing-masing.
Penghapusan aturan pengetatan perekrutan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi poin tersendiri yang harus dipenuhi di dalam MEA. Padahal, Indonesia masih menghadapi beberapa persoalan seputar tenaga kerja, antara lain, masih tingginya jumlah pengangguran, banyaknya pekerja dengan tingkat pendidikan minim, dan masalah upah minimum. Berkaitan dengan SDM, 61 persen angkatan kerja Indonesia sekarang berada pada level tamatan SMP.
Belum lagi sejak 2012 sampai 2031, Indonesia mengalami bonus demografi. Bonus demografi adalah kondisi kependudukan suatu negara manakala tingkat ketergantungan penduduknya di bawah 50 persen. Tingkat ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk usia tak produktif dan penduduk usia produktif. Dalam periode tersebut, Indonesia dituntut untuk menyediakan pasar lapangan kerja yang memadai. Namun, jika tak terpenuhi, bonus demografi akan menjadi bencana kependudukan, karena pengangguran akan menumpuk dalam jumlah besar sehingga menciptakan beban dan persoalan baru.
Kaitannya dengan banyak aspek
MEA, bonus demografi, dan pertumbuhan ekonomi menjadi faktor-faktor yang menentukan wajah Indonesia. Apalagi pada 2025, Indonesia ditargetkan masuk ke dalam kategori negara berpendapatan tinggi.Kaitan di antara ketiganya sangat dominan dalam menjawab kemungkinan tercapainya target tersebut.
Dimulai dari minimnya tingkat pendidikan mayoritas angkatan kerja di Indonesia, bisa dipastikan ini menjadi tantangan utama karena investasi sumber daya manusia minimal butuh waktu 16 tahun, mulai dari sekolah dasar hingga lulus S1. Belum lagi tantangan dari luar, seperti angka TKA yang sangat besar sebelum MEA dibuka. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukan, TKA tumbuh 18,7 persen pada tahun 2013 menjadi 68.957 orang. Mereka menduduki jabatan di level menengah hingga tinggi. Bukan tanpa sebab, mereka adalah tenaga terlatih dan mayoritas lulusan pendidikan tinggi sehingga posisi mereka di atas angkatan kerja Indonesia.
Selain faktor tersebut, dalam lima tahun terakhir mulai 2008 hingga 2013 penyerapan tenaga kerja setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mengalami tren penurunan. Pada 2008, mampu menyerap 181.000 tenaga kerja, sedangkan pada 2013, tinggal 164.000 tenaga kerja. Celakanya pertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, untuk mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya akibat ekses dari bonus demografi, pemerintah perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi, minimal menempuh targetyang sudah dicanangkan di awal, yaitu sebesar 7 persen.Namun, menuju kesana tampaknya sangat sulit karena dibutuhkan kerja ekstra dari setiap pelaku kepentingan untuk bahu membahu berjalan bersama dan menekan ego sektoral yang seringkali justru menjadi penghambat utama.
Upaya pemerintah
Dalam menjawab tantangan ke depan, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan akselerasi capaian target dan menjawab tantangan demografis yang sudah penulis sampaikan di muka.
Pertama, menghadapi MEA pemerintah perlu melindungi tenaga kerja Indonesia, terutama dalam delapan sektor profesi yang akan masuk dalam bursa tenaga kerja ASEAN. Setiap asosiasi profesi perlu didorong untuk memperkuat regulasi profesi dan menyiapkan blueprint pengembangan profesi. Selain itu, peran dari universitas juga penting dalam menjamin setiap lulusannya karena angka pengangguran di level Strata 1 juga ternyata masih cukup tinggi.
Kedua, menjamin kondusifnya suasana politik yang akan berimplikasi pada meluasnya investasi asing. Kondisi politik hingga saat ini harus diakui masih dalam kondisi relatif belum stabil. Konflik di DPR, internal partai, dan menguatnya isu-isu primordial di berbagai daerah memaksa pasar menahan diri sambil memantau perkembangan politik. Apabila kondisi seperti ini terus berlarut hingga beberapa bulan ke depan, maka otomatis laju pertumbuhan ekonomi akan melambat pada triwulan pertama pada 2015.
Investasi asing jangan hanya dipandang secara negatif. Tentu pemerintah perlu melindungi pasar domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari bawah, tetapi tuntutan pasar dan bergabungnya Indonesia ke dalam berbagai forum internasional mau tidak mau memaksa Indonesia menjalankan poin-poin perdagangan, salah satunya adalah liberalisasi pasar. Hal yang mungkin ditempuh oleh pemerintah adalah mendorong investasi asing menuju kebutuhan pembangunan Indonesia. Jadi tidak hanya menerima investasi tanpa tahu dampaknya bagi perekonomian Indonesia.
Investasi menjadi penting ketika Indonesia dihadapkan pada berbagai macam tantangan. Maka jangan heran ketika pada forum APEC CEO Summit di Beijing 10 November lalu, Jokowi berulang kali mengundang investor asing untuk berinvestasi di beberapa sektor yang menjadi fokus perhatian pemerintahannya. Investasi dibutuhkan tidak saja untuk meningkatkan produktivitas nasional, tetapi sekaligus menjadi penyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan berkelanjutan.
Selain kondusifnya kondisi politik, untuk mempercepat laju investasi perlu dilakukan pembenahan infrastruktur memanfaatkan pelabuhan dan bandara berstatus internasional. Hal ini memengaruhi peningkatan produksi dan kelancaran jalur distribusi. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir anggaran negara yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur tak lebih banyak dari akumulasi subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 714 triliun.
Pada akhirnya, kompleksitas persoalan harus segera dijawab satu persatu. Pemerintah juga perlu sesegera mungkin merespon beragam tuntutan dari masyarakat, khususnya berkaitan dengan persoalan klasik, yaitu terjaminnya akses terhadap lapangan kerja. Satu yang pasti, masyarakat tak bisa lagimenunggu terlalu lama hasil menggembirakan dari Kabinet Kerja yang baru saja bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H