Para pemuda yang memiliki ghiroh keislaman itu, marah bukan main kepada Mohammad Hatta. Mereka menuding dalang intelektual dibalik dihapusnya Piagam Jakarta adalah Bung Hatta. Diamnya Bung Hatta dituding sebagai bentuk persetujuan penghapusan Piagam Jakarta.
Sehari setelah Indonesia merdeka, panitia 9 BPUPKI memutuskan menghilangkan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," dari konstitusi.
Terkesan tiba-tiba. Penghapusan tersebut dilakukan sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ini sangat mengecewakan kelompok Islam. Bagi kelompok Islam salah satu tujuan perjuangan kemerdekaan untuk menegakkan nilai-nilai keislaman.
Stempel skuler pun disematkan pada sosok Bung Hatta. Para pemuda Islam yang merasa kecewa dihapusnya Piagam Jakarta itu mendatangi Bung Hatta. Mereka protes atas sikap Bung Hatta yang membiarkan hilangnya Piagam Jakarta dari dasar negara.
Mereka membandingkan Mohammad Hatta dengan Mohammad Natsir yang begitu teguh bersuara memperjuangkan Piagam Jakarta pada konstitusi Republik Indonesia.
Dengan gaya khas Bung Hatta, tenang tanpa ekspresi emosi, menjawab tudingan pemuda Islam itu. Begini Bung Hatta menjawab tudingan kelompok pemuda Islam itu; "Perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan.
Nah, cobalah masukkan setetes gincu dan aduk, warnanya jelas berubah namun rasanya tidak berubah. Tetapi, coba masukkan setengah sendok garam dan kemudian aduk, warnanya tidak akan berubah namun rasanya berubah.
Natsir menganggap Islam seperti gincu, sementara saya menganggap Islam seperti garam. Tanamkan Islam di dalam hati pemuda-pemuda dan mereka akan membereskan seluruh negeri ini. Pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa."
Dari awal pendirian republik ini, wacana formalisme Islam sudah menguat. Dan hingga sekarang masih ada kelompok Islam yang meyakini jika formalisme Islam maka segala persoalan rakyat akan terselesaikan. Hingga akhirnya fokus pada perjuangan simbol-simbol. Sementara yang substansi nilai-nilai Islam terlupakan.
Bagi Mohammad Hatta dengan menjalankan inti ajaran Islam sudah bagian dari menegakkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berlaku adil dan memperjuangkan kebenaran jauh lebih penting ketimbang sibuk memperjuangkan simbol-simbol keagamaan masuk dalam konstitusi.
Saat ummat Islam menunaikan zakat maka sudah menjalankan konstitusi sekaligus. Dan begitu sebaliknya. Artinya nilai-nilai Islam sudah termaktub dalam konstitusi. "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sementara dalam bahasa Al Quran, Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.