Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Suryadi R

Founder Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah

Literasi yang Dikapitalisasi

Diperbarui: 21 Februari 2024   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: jernih.co

Membaca dan menulis seperti kata Bambang Sugiharto adalah bahan bakar menghidupkan dan menjalankan mesin kesadaran, atau bagai air yang menyuburkan pemikiran (Mushthafa, 2013). Membaca dan menulis merupakan nama lain dari literasi. Istilah ini lekat dalam pikiran setiap kita bahwa literasi merupakan kegiatan yang berhubungan erat dengan proses membaca yang berlanjut pada kegiatan menulis. Menulis dalam hal ini tentu bukanlah menyalin atau meresume buku, melainkan menuangkan gagasan atau pemikiran dalam bentuk tulisan.

Makna literasi tidak terbatas sampai di situ. Secara substansial, literasi adalah pengetahuan yang menuntun para pegiatnya berkewajiban mengubah cara berpikir manusia sebagai tugas intelektualnya (Foucault, 2019). Untuk itu, pegiat literasi perlu merawat literasi dengan hati-hati dan dipandu nalar kritis membaca pergerakan zaman yang dapat membawa ancaman eksistensial terhadap keberadaan literasi itu sendiri. Mengingat, selain sebagai pengetahuan, literasi adalah unsur pokok peradaban.

Pertanyaannya, pergerakan zaman seperti apa yang dapat membawa ancaman eksistensial bagi keberadaan literasi? Apakah ancaman tersebut mempengaruhi kualitas literasi? Ataukah sejak awal ancaman sedemikian rupa memang telah datang silih berganti hingga zaman kiwari, sehingga membuat literasi kebal dengan sendirinya?

Untuk menjawab ini, penulis perlu mengemukakan satu realitas faktual yang terjadi dimana-mana. Meski belum berdampak, tapi ke depan, akan jadi masalah besar. Realitas faktual yang dimaksud adalah kapitalisasi literasi. Kapitalisasi literasi yang dimaknai sepintas, bukanlah masalah, tetapi akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Kapitalisasi literasi berarti sebuah upaya membesarkan komunitas atau menggerakan literasi. Negara dan lembaga pendonor (korporasi) yang bersimpati pada dunia literasi telah membuka peluang kerjasama melalui mekanisme pengajuan proposal bantuan untuk komunitas literasi. Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Ristek, terpantau telah mengumumkan akan memberikan bantuan pendanaan bagi setiap komunitas penggerak literasi yang dinyatakan lolos seleksi.

Inisiatif ini penting disambut baik. Namun, di lain sisi, kita patut mendasarkan kecurigaan amat dalam. Pasalnya, bantuan berupa modal kapital oleh negara atau korporasi jarang berkepentingan tunggal, selalu memiliki kepentingan ganda dan itu terselubung. Kehadirannya (negara atau korporasi) hanya realitas citraan yang terkadang selalu dimanipulasi. Sekaitan dengan itu, Martin Heidegger telah mengungkapnya dalam filsafat Fenomenologinya.

Heidegger mengatakan bahwa kehadiran atau Ada (Zein) sebagai sesuatu yang menampakkan kedirian. Fenomenologi ala Martin Heidegger mengemukakan bahwa setiap realitas menyibak fenomena yang darinya mengungkap yang Ada. Heidegger lebih lanjut menjelaskan bahwa kita harus membiarkan yang Ada menampakkan diri pada dirinya sendiri (Hardiman, 2016). Kendati demikian, penampakan Ada tidak pernah sederhana. Terkadang, penampakan yang Ada adalah tersembunyi atau hanya kepura-puraan menampakkan diri. Apa maksudnya? Kita cenderung memaknai fenomena sebagai apa adanya, padahal fenomena tidak selalu menampakkan diri apa adanya.

Pada konteks inilah kapitalisasi literasi menimbulkan masalah. Bantuan modal kapital kepada komunitas literasi, di balik layar -sebenarnya- adalah bentuk kamuflase. Tujuan sebenarnya adalah kepentingan menjaga reputasi di mata global alih-alih menjadikan literasi sebagai instrumen legitimasi kekuasaan. Jangan dilupakan sebagaimana Foucault menjelaskan, negara adalah superstruktur yang memiliki perangkat jaringan yang berfungsi menginvestasi seksualitas, pengetahuan, teknologi, kekerabatan, keluarga, dan tubuh sekalipun (Foucault, 2017) untuk melanggengkan kekuasaan.

Gelontoran modal yang disuntikkan kepada komunitas literasi adalah proses bagaimana literasi dikapitalisasi. Hal ini pada gilirannya dapat mengeroposkan sendi-sendinya sendiri jika komunitas literasi yang ada terus menerus bergantung pada sistem pendanaan yang dibiayai oleh negara atau korporasi. Sejauh pemahaman penulis, eksistensi komunitas literasi tidak bisa didikte hanya berdasarkan sokongan kaum pemodal. Bahwa komunitas literasi berdaya karena kreativitas dan kemandirian. Idealisme sebagai komunitas intelektual yang independen tidak boleh hancur hanya karena sokongan golongan elit. Kendati bantuan dan sokongan oleh negara atau korporasi penting, tetapi itu sifatnya hanya pendukung itupun tingkatan paling bawah.

Fenomena bagaimana literasi dikapitalisasi mengingatkan kita dengan ulasan Peter Flemming tentang penyebab matinya perguruan tinggi yang ditulisnya dalam Dark Academia: How Universitas Die. Flemming dengan apik menjelaskan bagaimana sektor pendidikan diobrak-abrik dan akhirnya runtuh di bawah komersialisasi yang ekstrem (Flemming, 2022). Flemming berangkat dari fakta bahwa perguruan tinggi yang menjalin kontak yang begitu intens dengan kekuasaan mengakibatkan dirinya (perguruan tinggi) tidak ubahnya seperti korporasi yang pro-pasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline