Siapa yang tidak mengenal NU ?. Dapat dipastikan semua orang pasti kenal dengan nama NU. NU terkenal sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang memiliki jutaan pengikut dan penggemar seluruh mayapada, setidaknya menurut hasil riset yang dikeluarkan oleh LSI Denny JA pada tahun 2019.
Tidak tanggung-tanggung hasil riset tersebut menunjukkan angka yang besar sebanyak 49,5% menggeser Muhammadiyah yang memiliki pengikut sebanyak 4,2 %.
NU dalam perjalanannya telah memberikan kontribusi yang begitu besar. Perjuangan NU tidak hanya berhenti pada perjuangan menyebarkan panji-panji keislaman, tetapi yang lebih besar itu bahwa NU ikut mendirikan republik atau NU sendiri yang telah mendirikan republik yang bernama NKRI ini.
Fatwa Resolusi Jihad K.H Hasyim Asy'ari telah menjadi inspirasi lahirnya gerilya pemberontakan melawan antek-antek imperialisme-kolonialisme bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Hubbul Wathon Minal Iman telah menjadi dasar perjuangan Islam Kebangsaan dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI yang dilucuti tentara NICA dan sekutunya waktu itu.
Jika berbicara NU maka kita akan berbicara tentang pesantren. Sejak dulu pesantren telah menjadi tempat berkumpulnnya masyarakat dari berbagai lapisan untuk belajar bukan hanya agama, tetapi juga ilmu-ilmu alam dan sosial kemasyarakatan. Banyaknya masyarakat yang berguru ke pesantren menjadikan pesantren meemiliki banyak pengikut.
Jumlah itu semakin bertambah seiring besarnya kebutuhan masyarakat akan ilmu-ilmu agama utamanya Fiqhi. Pesantren sebagaimana diketahui adalah lembaga pendidikan yang telah hidup lebih lama jika dibandingkan umur republik ini. Bahkan, tidak berlebihan jika pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan asli pribumi.
NU sangat identik dengan pesantren. Bahkan NU adalah pesantren itu sendiri. Pola kehidupan Kiai dan Santri telah terejawantah dalam batang tubuh organisasi Kebangkitan Ulama ini, baik secara kepemimpinan ataupun dari sistem pengkaderan.
Perjalanan NU dari dulu hingga kini selalu sama. Kepesantrenan dan ke-NUan selalu berjalan beriringan. Gus Dur seperti dikutip dari Islam Tradisional Yang Terus Bergerak karya K.H Husein Muhammad, menjelaskan bahwa pesantren adalah subkultur yang di dalamnya terdiri dari tiga elemen yakni pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, kitab rujukan diambil dari berbagai abad, dan sistem nilai yang dianut. (Husein Muhammad; 2019).
Tiga kategori elemen yang dimaksudkan Gus Dur itu, menurut penulis adalah pola organisasi yang dimiliki NU. NU sendiri adalah organisasi independen yang tidak terafiliasi dengan organisasi pemerintah atau lembaga apapun. Di berbagai pesantren yang dimiliki NU, kitab gundul masih menjadi kitab rujukan para kiai dan santri, meski di NU sendiri kitab-kitab ataupun tafsir modern telah banyak digunakan. Dari sitem nilai, NU hingga kini masih mempertahankan tradisi sowan dan segala bentuk penghargaan kepada Kiai.