Lihat ke Halaman Asli

Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial Merusak Peradaban

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

IPS

Beberapa kali saya dengar tokoh-tokoh akademisi yang dimintai pemikirannya (diwawancara) di teve-teve membuat pernyataan "seperti Amerika" sebagai bentuk ideal masyarakat.  Apakah benar masyarakat Amerika adalah contoh masyarakat ideal bagi Indonesia?  Jawaban saya "tidak".

Budaya kita Indonesia memang sudah tergerus dan dirangsek masuk oleh budaya-budaya asing tanpa disaring lagi, terutama budaya Amerika.  Apakah budaya Indonesia yang ala Amerika saat ini menjadi suatu yang ideal buat kita, atau sesuatu yang telah lama kita idam-idamkan?  Jawaban saya tetap "tidak".

Terbentuknya budaya baru ala Amerika di Indonesia dawali dengan masuknya pemikiran-pemikiran Amerika yang tak disaring dan diamini oleh pemuka-pemuka di Indonesia.  Dan pemuka-pemuka (volunteer) tersebut adalah para akademisi yang diimingi dan dihadiahi gelar (kehormatan) dan harta untuk menyerap dan menyebarkan pemikiran-pemikiran ala Amerika ini.  Masuknya pemikiran-pemikiran Amerika yang tak cocok dengan nilai-nilai ideal (luhur) Indonesia ini tak terbendung lewat Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial yang mencakup antara lain Politik, Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Hukum.    Semakin banyak lulusan IPS di dunia ini, semakin rusak pemikiran manusia dan oleh sebab itu semakin rusak peradaban.

Amerika menggunakan "charm", daya tarik teknologi (IPA) untuk memasukkan paham-paham sosialnya (IPS) yang menyiratkan nilai-nilai sekuler (melulu keduniawian) yaitu memisahkan nilai-nilai baik-buruk dari kehidupan bermasyarakat (antar manusia) yang kemudian hanya ditentukan oleh "apa saja keduniaan yang harus kudapatkan dihidup ini" yang mereka kemas dalam istilah-istilah yang tampak manis seperti  "successful", "high achieving",  "search of excellence", "hard working", "charismatic", "influential", "high leadership" atau semacamnya.

Kita ambil contoh ekonomi.  Istilah ekonomi sendiri baru dikenal di Indonesia tahun 1970-an.  Sebelumnya digunakan istilah Perdagangan dan mata ajaran yang diajarkan disekolah-sekolah bukan Ekonomi tetapi Hitung Dagang.   "Ilmu ekonomi" yang diajarkan disekolah-sekolah (makro ekonomi dan mikro ekonomi) berpaham kapitalisme dan itulah yang diterapkan dan disebarluaskan oleh para lulusan ekonomi. Sedangkan pilihan lain dari sistem ekonomi adalah sosialisme yang juga merupakan pikiran Barat ekstrim yang tak cocok dengan apa yang dianggap nilai luhur Indonesia, walaupun tampak baik dengan istilah "gotong royong" dan "koperasi".

Sebenarnya bukan bentuk struktur apakah korporasi atau koperasi yang jadi inti masalah, tetapi nilai-nilai dibaliknya.  Sebaiknya kembalikan saja istilah ekonomi menjadi niaga (sosio-enjiniring) misalnya.  Rombak total IPS yang jelas merusak itu dan ganti dengan sosio-IPA (merupakan sub dari pembelajaran tentang alam/lingkungan).

Ilmu niaga (yang menggantikan ilmu ekonomi) sebaiknya menekankan pada barang-barang yang beredar baik dalam bentuk barang maupun bentuk representasinya (uang dan media perjanjian lain), bukan hanya uang seperti dalam ilmu ekonomi.  Jadi aktivitas niaga tidaklah melulu tentang "mencari/mengumpulkan uang", tetapi saling menukar kreasi/karya-karya atau barang-barang yang dibutuhkan.  Jadi dagang pada dasarnya menukar, baik menukar barang secara langsung (barter) atau melalui perantaraan uang (transaksi).

Penerapan Ilmu Niaga diharapkan memberikan gambaran yang lebih kena sasaran dibandingkan Ilmu Ekonomi yang banyak menyesatkan itu.  Misalnya, jika Indonesia menggenjot kerajinan tangan sebagai karya untuk dipertukarkan dengan barang-barang elektronik dan barang-barang yang memerlukan pengetahuan IPA yang tinggi seperti satelit, telekomunikasi, pembangkit-pembangkit tenaga listrik hasil karya masyarakat asing, seberapa besar kerajinan tangan yang perlu disediakan oleh masyarakat Indonesia?  Dan jika dibutuhkan kerajinan tangan dalam volume besar-besaran agar dapat menukarnya dengan barang-barang berbasis teknologi tinggi (IPA), dari mana asal bahan-bahan mentah yang mereka butuhkan jika tidak dari alam yang berarti ikut mengeksploitasi alam?

Contoh lain:  Minyak sawit yang diekspor besar-besaran keluar untuk mengejar uang (sesuai doktrin ekonomi) menyebabkan suplai minyak sawit dalam negeri berkurang.  Ilmu ekonomi yang tak menekankan pada barang-barang yang beredar tak menjelaskan ini.

Contoh lain:  Pasar modal yang telah beralih fungsi menjadi short capital gain market ini sebenarnya berbahaya bagi sektor ril.  Jika ilmu ekonomi hanya melihat akumulasi uang sebagai pengejawantahan ilmu ekonomi, justru perniagaan suatu masyarakat akan terganggu.  Misalnya, pedagang sektor informal yang didoktrin untuk "mengejar uang" akan kewalahan karena uang justru tersedot ke sektor non-ril.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline