Lihat ke Halaman Asli

Nasib Petani di Tengah Wabah Covid-19

Diperbarui: 17 Mei 2020   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sehubungan dengan berjangkitnya wabah virus Corona atau COVID-19 pemerintah sering mengkampanyekan manfaat sayur,  buah dan rempah-rempah untuk menangkal virus corona, himbauan physical distancing,hingga kepastian stok bahan baku pokok pangan aman hingga bulan Agustus 2020. Tetapi sayangnya dari semua kampanye tersebut informasi dampak wabah COVID-19 terhadap para petani dan peternak masih minim diberikan.

Sebagai contoh para petani hortikultura dan peternak ayam ras menjerit karena hasil panen yang melimpah tetapi tidak dibarengin dengan permintaan pasar yang memadai. Kondisi ini terjadi karena dampak wabah virus COVID-19 menghantam petani dan peternak ayam khusunya yang ada di pulau Jawa.

Pembatasan waktu operasional pasar sebagai dampak wabah COVID 19 berdampak pada kesulitan petani untuk menjual hasil pertaniannya.  Penjualan hasil panen akan bertambah sulit ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan. Belum lagi hal ini diperparah dengan perilaku para tengkulak yang memanfaat situasi ini untuk melakukan penekanan harga di tingkat petani.

Perilaku petani hortikultura yang melakukan penanaman lebih luas saat menjelang Ramadhan dan Lebaran menyebabkan tingkat produksi yang berlimpah. Selama ini Jakarta membutuhkan suplai cabai 80-100 ton per hari yang disuplai dari berbagai daerah seperti Jawa barat, Jawa Tengah, dan  Jawa Timur.  Menurut catatan Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesai (AACI)  dengan kondisi  wabah COVID-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat permintaan cabai di Jakarta  menurun menjadi 20-25 ton per hari.  Sementara itu saat ini perkiraan petani memanen cabai 200 ton per hari.  Penurunan permintaan cabai dikarenakan sebagian besar rumah makan, hotel dan tempat kuliner lainnya tutup. Akibatnya kebutuhan cabai sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Dampak selanjutnya, pada bulan Mei ini akan banjir cabai besar-besaran sebab ada 12 ribu lahan cabai yang akan panen raya. Saat ini harga cabai merah besar berjatuhan seperti di pinggiran Kota Malang dipatok Rp 7 ribu per kilogram. Kemudian cabai keriting Rp 10 ribu per kilogram di Kota Malang dan Pasuruan. Jika harga cabai di tingkat petani tetap di angka Rp 10 ribu per kilogram, maka petani akan merugi.. Saat ini modal petani untuk menanam cabai sampai panen membutuhkan biaya Rp 13 ribu per kilogram.

Jika petani merugi akibatnya mereka tidak bisa membayar kredit usaha rakyat (KUR) dan mengancam kelangsungan usaha tani mereka selanjutnya karena tidak memiliki modal lagi.

Demikian juga dampak wabah COVID-19 ini pun dialami oleh para  petani jagung.  Dan peternak ayam ras. .  Belakangan ini terjadi sepi  pembeli baik pengepul maupun pabrik untuk menyerap hasil panen jagung.  Jikapun ada yang membeli harganya murah, dari biasanya Rp 4500 per kilogram menjadi Rp 3000 per kilogram. Biasanya pada musim panen jagung pabrik-pabrik pakan ternak akan menyerap hasil panen tapi saat ini pabrik banyak yang menghentikan pasokan karena dampak COVID-19.  Saat ini buruh kerja untuk memetik hasil panen juga sulit ditemukan karena mereka khawatir terkena COVID-19.

Dampak yang sama juga dirasakan para peternak ayam. Pembatasan operasional beberapa pasar tradisional berdampak pada penyerapan hasil panen ayam broiler hal ini diperparah dengan menurunnya pembeli yang berkunjung ke pasar.   Sebelum COVID-19, ayam potong di Pasar Jombang dan Mojokerto terjual 50-70 ton/hari.  Saat ini hanya terjual 10-25 ton/hari. Dampak dari menurunnya permintaan membuat para tengkulak melakukan negosiasi harga kepada peternak ayam. Satu kilogram, tengkulak mematok harga Rp 6-7 ribu. Sementara rumah pemotongan ayam (RPA) mematok harga Rp 8-9 ribu per kilogram. Padahal harga pokok penjualan (HPP) ayam broiler diangka Rp 18.200 per kilogram. Saat ini 90 persen dari 220 peternak ayam broiler di Jombang telah gulung tikar

Penerapan PSBB membuat ekspedisi pengangkut logistik pangan kuatir tidak diizinkan masuk ke daerah tujuan. Padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 disebutkan pengecualian bagi angkutan pangan. Sayangnya kondisi di lapangan tidak sejalan dengan kemauan pemerintah.

Di beberapa daerah pemerintah desa melakukan pembatasan bagi orang luar yang masuk wilayahnya untuk antisipasi penyebaran COVID-19. Pembatasan itu bagus, sayangnya perlakuan itu juga berlaku bagi pedagang. Mereka yang mau beli hasil panen jagung misalnya harus diperiksa dan dikarantina terlebih dahulu oleh pihak desa. Dampaknya, pedagang yang niatnya membeli hasil petani jadi enggan masuk ke wilayah tersebut.

Baru-baru ini sempat viral aksi beberapa petani di daerah Malang yang membuang sayuran ke sungai dan juga  membagi bagikan ke pengendara kendaraan yang lewat karena disebabkan hasil panen mereka tak bisa dijual ke pasar, sekaligus dilakukan sebagai aksi protes agar pemerintah bisa membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.      Hal ini  terjadi  lantaran pasar-pasar yang selama ini menampung sayuran hasil panen mereka ditutup karena pembatasan aktivitas guna memutus mata rantai virus COVID-19.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline