Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Makan Siang yang Gratis

Diperbarui: 27 April 2020   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini China adalah kekuatan yang paling membawa pengaruh besar bagi negara-negara lain di dunia. Pengaruh itu akan terus bertambah dan berkembang Apalagi ada yang memprediksi pada tahun 2028 sampai 2030, GDP China akan melampaui Amerika Serikat.  

China akan merajai di segala sektor; militer, diplomatik, politik, ekonomi, sosial , budaya dan teknologi.  Peran China bakal meningkat terutama di kawasan Asia Pasifik  selaras dengan kenaikan kekuatannya.   China akan menjadi pusat kekuatan teknologi dunia, terutama dalam bidang siber, kecerdasan buatan, antariksa dan inovasi.  Kemajuan di bidang-bidang ini menjadi penyebab kuatirnya negara-negara yang selama ini dominan di bidang teknologi terhadap China di masa depan.

Salah satu kebijakan China memainkan perannya sebagai kekuatan dunia adalah pengembangan kebijakan yang diusulkan oleh Presiden China Xi Jinping yakni Belt and Road Initiative (BRI) yang mana kebijakan ini adalah berfokus pada konektivitas dan kerjasama antara negara-negara dari berbagai belahan dunia. Strategi tersebut menegaskan tekad China untuk mengambil peran yang lebih besar dalam urusan global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Beijing.

Kebijakan yang juga dikenal sebagai “ Jalur Sutra Baru” ini pertama kali dicanangkan pada tahun 2013 oleh Presiden Xi Jinping.  Kebijakan ini meliputi pembangunan rel kereta api, jalan dan pelabuhan di seluruh dunia dengan dana pinjaman Beijing bernilai miliaran dolar.           Xi Jinping pernah menyebut melebihi US$ 5 Triliun dan investasi langsung melebihi US$ 60 Miliar. Fokus utama BRI adalah pada investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api, dan jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, besi dan baja. Beijing menyebut BRI sebagai proyek yang sama-sama menguntungkan bagi ambisi perdagangan globalnya dan bagi negara-negara berkembang yang butuh infrastruktur. 

Ada yang menyebut kalau BRI adalah proyek infrastruktur terbesar dalam sejarah umat manusia. Dari seluruh proyek regional dan internasional yang ada, BRI adalah yang paling banyak didukung oleh pendanaan dan komitmen politik dari Beijing.  Dari banyak proyek infrastrutur negara lain yang bersifat jangka pendek, BRI lebih bersifat jangka panjang. Proyek-proyek besar ini menghasilkan perbaikan infrastruktur di negara-negara berkembang sementara China mendapatkan pasar bagi hasil industri yang memiliki kapasitas berlebih dan juga fasilitas untuk memasok bahan mentah.        

Namun kenyataannya di lapangan , kini sejumlah negara rentan terjebak lilitan utang dari China. Proyek Belt and Road Initiative China  membantu pembangunan infrastruktur  di negara-negara berkembang belakangan mulai banyak dikuatirkan akan kemampuan untuk membayar utang pembangunannya. Negara-negara penerima bantuan tersebut mulai mengeluh akan lilitan utang ke negaranya. Ada yang menyebut Diplomasi Utang China ini dengan julukan Diplomasi Jebakan Utang (debt trap diplomacy). Telah muncul kekuatiran bahwa China membuat jebakan utang ke negara-negara yang kemungkinan tidak mampu  membayarnya.  Beberapa pemimpin negara-negara penerima bantuan seperti Pakistan dan  Malaysia menyuarakan untuk transparansi bantuan dan bahkan menghentikan proyek-proyek yang di dukung dana dari China.

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Kiel Institute For Global Economy, saat ini ada tujuh negara yang utangnya banyak ke China yang melampaui 25 % dati PDB mereka yakni: Djibouti, Nigeria, Republik Kongo, Kyrgystan, Laos, Kamboja dan Maladewa.

Pemimpin Maladewa yang diasingkan Mohamed Nasheed mengatakan bahwa kegiatan China di  kepulauan Hindia serupa dengan “ perebutan tanah” dan “penjajahan” karena 80 persen utang negara tersebut dari China. Maladewa akhirnya mesti menyerahkan hak pengelolaan pulau-pulau indahnya kepada China.  

Srilangka telah merasakan dampak negatif utang besarnya ke China.   Negara ini harus rela memberi izin penggunaan pelabuhan Hambantota yang sangat strategis ke Beijing selama 99 tahun karena tidak bisa membayar pinjaman bagi proyek bernilai US$ 1,4 miliar itu. Tajikistan menyerahkan tanah di perbatasannya yang disengketakan dengan China sebagai bentuk pembayaran utang.  

Montenegro terjerat hutang saat pembangunan jalan raya yang menghubungkan Port of Bar dengan Serbia.  Djibouti sejak lama telah memanfaatkan dan membantu Beijing menjadi mitra perdagangan terbesar di Afrika. China telah membangun pangkalan militer di negara Afrika Timur tersebut.  IMF telah memperingatkan negara tersebut menghadapi “resiko tinggi akibat tekanan utang” karena negara tersebut  naik dari 50 persesen dari PDB menjadi 85 persen.

Masalah lain dari utang China adalah negara itu tidak transparan dalam pelaporan utang. Utang tersembunyi tersebut telah memberi dampak berat bagi negara seperti Venezuela,Iran, dan Zimbabwe.  Akibat dari kasus utang tersembunyi tersebut ada negara yang utangnya tampak lebih kecil dari sebenarnya. Lembaga internasional seperti IMF kesulitan untuk menganalisis tingkat utang negara tersebut demi memberikan strategi dalam meringankan utang.  Meskipun bunga utang dari China lebih kecil, mereka memiliki tempo pembayaran yang lebih singkat.  China pun siap menerima pembayaran dari sumber daya negara tersebut seperti minyak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline