Lihat ke Halaman Asli

Curhat Pilkada, Jangan Kau Ambil Uangnya Bunda

Diperbarui: 7 Desember 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu teman wirid majelis taklim saya cerita, buk ketua datang menemuinya mengajak memilih salah satu calon. Alasannya, sang calon telah menjanjikan siap memberikan BUSANA SERAGAM, ditambah UANG kepada majelis taklim sebagai bentuk komitmen kedua belah pihak.

Jujur saya kaget dan sedih, ditempat yang selama ini kami dibina dan ditanamkan nilai- nilai keimanan dirusak dan diserang oleh ‘PENJAHAT’ demokrasi. Ya, mereka layak disebut PENJAHAT. Seharusnya tugas mereka adalah mengajarkan dan memberikan pencerahan pendidikan politik yang baik, bukan membodohi dan mengimingi masyarakat dengan janji.

Saya benar- benar SEDIH, sekaligus MARAH kepada oknum- oknum itu. Kenapa harus membeli suara rakyat? Apakah ide, Visi- Misi dan gagasan mereka tidak laku, sehingga harus mengaluarkan banyak uang untuk menang? Pertanyaan- pertanyaan ini layak kita ajukan, kepada kandidat- kandidat KERDIL yang menganggap semuanya bisa dibeli dengan uang.

Bagi ibu- ibu yang telah menerima uang, pertanyaan saya berikutnya, apa yang menggerakkan kita mengambil uang pemberian mereka? Tidakkah kita sudah familiar dengan ungkapan, “TIDAK ADA MAKAN SIANG YANG GRATIS”. Begitupun dengan uang yang kita terima, itu TIDAK GRATIS, catat TIDAK GRATIS. Ada imbalan yang sedang mereka tunggu, pilihan kita di bilik suara 9 Desember nanti.

Sebagai seorang ibu, jujur, uang Rp 100 Ribu itu sangat berharga. Siapa yang tidak perlu uang? Tapi bukan berarti karena butuh lantas kita mengabaikan LARANGAN AGAMA. Agama menghukum sama pemberi dan penerima SUAP. Ya, uang Rp 100 ribu yang kita terima jelang pilkada adalah SUAP, untuk mempengaruhi pilihan kita.

 Uangnya, tidak seberapa tapi DOSANYA SAMA. Dan percayalah uang haram itu akan menjadi sumber RUSAKNYA KELUARGA, keluarga yang teraliri uang haram tidak akan tentram. Dan kita selamanya akan menjadi ‘BARANG’ yang ditransaksikan jelang pemilu datang. Jangan terkecoh dengan slogan “ AMBIL UANGNYA, JANGAN PILIH CALONNYA”, tapi kita harus deklarasikan “ TOLAK UANGNYA, JANGAN PILIH CALONNYA”.

Kita harus menghukum para PENJAHAT DEMOKRASI itu, agar kita tidak selalu DIBODOHI, agar KESEJAHTERAAN itu bukan sekedar di tataran Visi dan manis di JANJI, tapi benar- benar nyata. Dan itu semua akan mungkin terjadi jika kita berani MEMILIH SESUAI HATI NURANI BUKAN KARENA TELAH MENERIMA UANG dan pemberian lainnya.

 

Batu panjang, Dalam renungan 7 Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline