Banyak orang tua di negeri ini yang mengimpikan dan bangga jikalau anaknya bisa menjadi pegawai pemerintah. Tampak gagah memakai baju dinas, banyak lambang di pundaknya, dapat pensiun pula. Antusias masyarakat terhadap pekerjaan ini juga tak kalah luar biasa. Bandingkan berapa jumlah pendaftar CPNS dengan pelamar kerja BUMN yang konon karyawannya bergaji selangit. Animo menjadi PNS jauh mengalahkan pekerjaan di bidang lain.
Hal itu dipicu pula oleh pola pikir masyarakat kita yang meninggikan status sosial mereka yang berseragam Korpri. Saking agungnya, minimal saat rapat RT, Sang PNS pasti jadi kandidat favorit yang diajukan dan dipilih warganya.
Namun tak dapat dipungkiri, penyandang batik Korpri kerapkali mendapat stigma negatif lantaran perilaku oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Gemar korupsi, lamban bekerja, hobi selingkuh atau cerai hingga rentan terserang 9 penyakit pegawai pemerintah. Kesepuluh penyakit tersebut adalah Tipus (tidak punya selera/passion), Mual (mutu amat lemah), Kudis (kurang disiplin), Asma (asal masuk kerja), Kusta (kurang strategi), TBC (tidak bisa komputer), Kram (kurang trampil), Lesu (lemah sumber daya manusia) dan Ginjal (gaji ingin naik kerja lamban).
Andrea Hirata (2010) dalam novelnya “Cinta Di Dalam Gelas” dengan gaya khasnya mengkritik tanpa menjadi sarkastik, bertutur :
Mereka yang takaran gula,kopi dan susunya proporsional umumnya adalah pegawai kantoran yang bekerja rutin dan berirama hidup itu-itu saja. Takaran gulanya dua sendok. Mereka tak lain pria ‘do-re-mi’, dan mereka telah kawin dengan seseorang bernama bosan. Kelompok anti perubahan ini melingkupi diri dengan selimut dan tidur nyenyak di dalam zona yang nyaman. Proporsi gula, kopi dan susu itu mencerminkan kepribadian mereka yang sungkan mengambil risiko. Tanpa mereka sadari, kenyamanan itu membuat waktu, detik demi detik, menelikung mereka.
Pada suatu Jumat pagi, mereka berangkat kerja berpakaian olahraga. Usai senam kesegaran jasmani, ada upacara kecil penyerahan surat keputusan pensiun.
Itulah SKJ-nya yang terakhir.
Itulah hari dinasnya yang terakhir.
Tamatlah riwayatnya.
Sering kutemui, orang seperti itu mengatakan hal begini di warung kopi. “Aih, rasanya baru kemarin awak masuk kerja” Kemarin itu adalah 30 tahun yang lalu.
“Tahu-tahu sudah pensiun awak, ni?”