"Di mana karyamu, bunda? Lelahkah?""Mbaaak, jarang nulis sekarang?
"Kompasiananya udah berenti ya?"
"Lagi writer block, ya kak?"
Dugaan-dugaan dan tebak-tebakan memenuhi message di inbox saya, beberapa bahkan sampai nyambung ke hape. Padahal saya termasuk rajin update status di Facebook, walaupun cuma sekedar cerita konyol doang. Habis dari pasar, terima raport anak yang kebakaran, atau sekedar berbagi pengalaman baru hari itu. Bukankah itu menulis juga? :)
Ada 33 naskah fiksi cerpen, cerbung hingga puisi dan artikel di blog pribadi saya, di kompasiana memang hanya sedikit tapi stok tulisan tetap ada. Lalu kenapa tak diposting?
Saya terbiasa bekerja dengan perencanaan. Tadinya tulisan-tulisan itu akan saya publish setelah "diendapkan" beberapa hari, siapa tahu ada tambahan atau ide baru yang mempermanis tulisan. Saya juga biasa menggunakan tema yang sama dalam bulan tertentu. Apalagi ada strategi marketing yang saya terapkan dalam menulis. Yak, walaupun bagaimana setiap penulis pasti pengennya dikenal karena tulisannya bukan? Nah, ada saat-saat yang harus ditunggu dan itulah mengapa saya selalu menunggu waktu yang tepat.
Tapi tidak beberapa bulan belakangan ini. Saya lagi marah, kesal dan sebal. Bahkan hampir selama seminggu saya tak menyentuh blog dan jejaring sosial. Back to basic, jadi Emak biasa aja. Waktu luang sejam sehari yang biasa saya gunakan untuk menulis, saya habiskan untuk menuntut hak saya pada beberapa majalah. Ada tiga majalah yang mengambil tulisan saya dari blog, semuanya... sayangnya... bukan nama saya atau nama pena yang biasa saya gunakan untuk media cetak.
Dulu, salah satu bos tempat saya kerja pernah bilang. Masalah bukan untuk dihindari, bukan untuk dibuat menjadi penyakit baru di dalam hati tapi masalah ada untuk diselesaikan. Kalimat inilah pembangkit semangat saya melawan para penjiplak dan plagiator itu.
Kenapa saya sampai semarah ini? Bukannya merasa bersalah atau mengaku, tapi salah satu dari para plagiator itu justru marah-marah pada saya ketika pihak Majalah memblacklist berdasarkan bukti-bukti yang saya berikan. Seandainya dia mau minta maaf dengan jujur, mungkin saya akan bantu berbicara pada pihak redaksi dan memberi mereka kesempatan. Toh, apapun yang dihasilkan dari tulisan-tulisan yang saya publish di blog bukan untuk saya, tapi untuk orang lain berdasarkan permintaan orangtua.
Plagiator itu ada yang hanya anak SMPN 14 Bogor, ada seorang Ibu Dokter dan yang lainnya pengurus LSM. Si Ibu Dokter mengakui kesalahannya dan kami malah saling berkenalan (akhirnya), kami bahkan bertukar informasi dalam hal menulis, dan yang pengurus LSM tidak berbicara apapun atas email dari saya maupun redaksi majalah kecuali meminta maaf. Tapi si anak SMP, sibuk marah-marah tak jelas dalam ratusan email yang dia kirimkan ke email pribadi saya. Tadinya saya tak mau meladeni. Tapi kemudian, ada hal-hal yang menjadi perhatian saya dan mungkin bisa jadi masukan untuk pihak redaksi majalah manapun agar sebaiknya mempertimbangkan saat menerima tulisan atau hasil karya seseorang.