Lihat ke Halaman Asli

Novel Bulan Part 1

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Cahaya Bulan

Bulan Oktaria. Menurutmu ini sebuah nama yang aneh? Atau sangat asing buat telingamu? Entahlah bagiku ini nama yang sangat indah, banyak makna yang terselip dalam namaku. Ayahku dengan bangga memberikan nama itu untukku. Sebagai bayi yang baru lahir ke dunia yang masih memerah saat itu, aku hanya bisa menerima dan menyimpan nama itu dengan penuh keikhlasan hati. Konon nama tersebut sudah disiapkan ayahku sebelum aku lahir ke dunia. Aku adalah anak pertama dan mempunyai dua adik laki – laki. Sulit memang untuk menjadi seorang anak pertama, karena aku harus menjaga dan membimbing kedua adikku.

Saat awal masuk sekolah tanpa malu aku deklarasikan namaku kepada seluruh teman – temanku. Aku memperkenalkan namaku di TK-ku. Namaku bulan, dengan bangga aku perkenalkan didepan kelas. Semua berteriak memanggil namaku Bulan. Aku semakin senang namaku sudah dikenal oleh teman-temanku.

Lain halnya saat aku memperkenalkan diri saat aku kelas 1 SD, semua temanku sempat tertawa, lucu, kata mereka waktu itu. Tapi aku menganggapnya mereka mengaggumi namaku, setidaknya nama diriku bisa eksis dalam kelas.

Ayah dan Ibuku seorang guru SD di kota Solo, karena ayah dan ibu bekerja sebagai guru maka aku bersekolah di tempat ibuku bekerja. Kehidupan keluargaku sangat sederhana, semua memang harus disyukuri apa yang Allah telah beri pada kami, begitulah ayahku memberikan semangat pada kami. Walaupun kondisi keuangan kami pas – pasan, ayahku selalu berusaha agar aku dan kedua adikku bisa sekolah dan punya pendidikan yang tinggi.

Aku bahagia bisa bersekolah di tempat ibuku bekerja. Aku merasakan kebersamaan bersama ibuku yang tak akan pernah bisa terulang kembali. Aku termasuk anak yang agak susah diatur, saat mau berangkat sekolah saja, ibuku harus sempat emosi agar aku segera berangkat ke sekolah. Mungkin kebiasaanku pada saat itu sangat mengganggu pagi ibuku, bayangkan saja mau berangkat sekolah saja, aku masih asyik dengan mainanku.

Saat kelas 4 SD aku pindah sekolah, karena ibuku mengajar di SD yang lain, aku hanya patuh mengikuti jejak langkah ibuku. Aku memang sedih karena harus berpisah dengan teman-teman baikku. Tak jauh berbeda di sekolah yang baru, aku memperkenalkan diri di depan kelas, masih saja ada yang tertawa dengan namaku, Bulan. Memangnya ada apa dengan nama Bulan, sempat aku berpikir dan senyum-senyum sendiri ternyata fans beratku bertambah. Untung saja aku tidak dipanggil orang gila gara-gara senyum-senyum ga jelas.

“ Bulan, kenapa kamu senyum – senyum sendiri?” bisik guruku.

Bisikan guruku membuat mukaku merah, malu, awal masuk sekolah kenapa harus senyum ga jelas. Aku hanya melempar senyuman sebagai jawaban.

Guruku segera menunjuk tempat duduk yang kosong, segera aku kesana dan duduk penuh kenyamanan.

“hei… namaku warna”teman dudukku memperkenalkan diri dengan sambutan senyumnya yang hangat.

Kaget, segera aku sambut tangannya dan balas senyumnya dengan senyuman terbaikku. Jika ada lomba senyum maka senyumku akan jadi juaranya, senyumku itu memang yang terbaik, minimal bagi diriku.

Warna, sahabat pertamaku di tempat sekolah yang baru. Sahabatku memperkenalkan diriku pada teman-temannya, Vita dan ada si kembar Rana dan Rini. Karena sifat bawaanku yang pemalu jadi aku memperkenalkan diri dengan sedikit malu, tapi tak apalah.

Saat berkenalan aku melihat Ibuku tersenyum dari kejauhan, hari pertamaku disekolah sudah mempunyai teman dan akan bertambah temannya setiap hari, mungkin pikir ibuku seperti itu. Kebiasaan di sekolah sebelumnya memang aku selalu diam saat istirahat atau ke tempat ibuku sebagai teman untuk mengobrol.

Ya entah kenapa… mungkin bawaan namaku Bulan yang memang selalu bersinar sendiri, memang sih kata ayahku, diriku lahir saat bulan purnama yang cahayanya begitu cerah tapi tak ada bintang yang menemaninya. Setidaknya bulan purnama saat itu sedang tersenyum bahagia atas kedatanganku ke dunia. Ataukah memang sudah ada keturunan genetik pada saat aku lahir, aku harus bersinar sendiri? Atau sinarku harus aku redupkan? Biarlah perjalanan hidupku yang menjawabnya, redup atau bersinar…..

Begitu anehnya memang saat disekolah, semua anak – anak perempuan mulai heboh dengan idola – idola ganteng mereka, sedangkan aku memilih tenggelam dalam kesendirian dan terlukiskan dalam setiap gambarku. Aku bisa menciptakan duniaku sendiri, aku bisa menciptakan Allahku sendiri dalam gambarku, rasa sukaku, aku bisa menjadi angin yang bertiup kencang, air yang mengalir deras, aku bisa menjadi apa saja yang aku mau, termasuk Bulan yang bersinar saat langit hitam.

Saat mengenal Warna, aku mulai sedikit berbeda, diperkenalkan diriku pada dunia persahabatan. Tak mentertawai namaku atau meledekku. Dia mengajariku tentang warna – warni hidup. Terhapus sudah kesendirianku. Sudut mataku hanya tertuju pada Warna.

Tapi perubahan duniaku tak begitu lama, setahun kemudian, ibuku pindah mengajar ketempat yang lain. Ibuku seorang guru PNS, ibuku siap dipindahkan kemana saja. Aku menangis, kehilangan sahabatku, mungkin aku tidak akan menemuinya kembali.

Hidup ini memang selalu diberikan pilihan tetapi saat ini pilihan ini harus dipaksakan padaku. Mengikuti setiap jejak langkah ibuku. Jika ada pilihan lain aku ingin bersama Warna, seorang anak perempuan yang selalu mengenalkan warna hidupku.

Sebelum aku berpisah, sepucuk surat merah dengan hiasan bunga dan bertuliskan sahabat ada pada kolong mejaku, segera kubuka surat itu.

aku adalah temanmu, Bulan. Kita bersahabat, namamu akan teringat dalam kehidupanku, kita akan selalu saling menyapa dalam kejauhan, Warna. Aku menangis membaca surat dari sahabatku, Warna. Bergegas aku mencarinya, berlari, ingin segera aku memeluk sahabatku.

Akhirnya kutemukan sahabatku, Warna. Duduk anggun dibawah pohon, segera aku memeluknya. “Warna….” Tangisku menetes kebumi.

Warna hanya tersenyum, kulihat matanya berkaca-kaca, sepertinya ia menahan agar air matanya menangisi kepergianku.

“Kamu adalah Bulan yang selalu ceria” kata-katanya membuat aku semakin menangis.

Pada kokohnya pohon yang tertanam, kami berdua berjanji akan mengingat persahabatan ini.Kata – kata selamat tinggal terlarang bagi kami, sampai bertemu kembali, bisikan Warna pada tangisanku. Suatu saat aku akan mengunjungimu Warna.

Ibuku memanggilku dari kejauhan, bergegas menuju suara ibuku. Langkahku terus tertuju pada Warna, melihat Warna menumpahkan air matanya yang tertahan.

Kita akan bertemu kembali Warna……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline