Lihat ke Halaman Asli

Cahaya Biru & Malaikat Kecil

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Luka ku tak pernah terobati
Sampai kapan pun tak kan terobati
Hanya setetes embun mampu menjadikannya sesaat tak terasa
Sesaat seperti mati
Sesaat terasa perih
Sesaat lagi terasa beku
Namun saat yang sesaat itulah aku merasa tak pernah punya luka.

Beratnya asa dalam hidup seolah tak mau mengerti aku tak ingin seperti ini
ia terus mencambuk ku sampai aku letih
Aku letih namun aku mesti terus berjalan
Tertatih-tatih, dalam rintihan perih, menahan luka sampai aku jatuh tersungkur.

Lelah... Ingin pergi. Ingin menghindar, Ingin mati...
Ketika aku mulai membaurkan napas hidup dengan kematian
Aku lihat cahaya biru di depanku, yang indah. Indah sekali...
Cahaya itu masih jauh, aku tak mampu merangkulnya
tapi aku sangat ingin mendekatinya
Mendekat, mendekat dan jika aku sampai aku akan berbaur dengan cahaya itu
tapi aku perlu waktu lama untuk menjangkaunya...
Tuhan, mampu kah aku?
Saat aku bertanya seperti itu Tuhan menurunkan malaikat kecilnya
untuk memapahku, ia memberiku setetes air dari sela jarinya
dan aku tahu malaikat itulah yang selama ini membekukan luka ku...
Dia baru menampakan diri sekarang...
Sepanjang perjalanan menuju cahaya biru itu, ia slalu bercerita tentang kisah indah disurga
yang membuat aku merindukan baunya...
Hey, perjalanan ini masih panjang
aku tak tau apa dia akan terus memapahku sampai disana
atau ia akan meninggalkan aku justru disaat aku harapkan ia bersamaku
aku lirik ia, malaikatku berkeringat, napas nya tersengal-tersengal...
Lelahkah ia? Tapi lihatlah, malaikat kecil itu tetap bercerita
sesekali berdendang, bersiul tanpa melepaskan rangkulanya...
Aku tahu, kamu sedang berusaha membuat aku tersenyum
dan aku akan tersenyum untuk keringatmu...

Lihatlah malaikat kecil itu meraba luka dbalik kain lusuhku
saat aku meringis ia meminta agar aku tunjukan luka di ujung napasku...
Hey, kenapa aku menurutinya?
Bukankah aku tak mau seorangpun tahu tentang lukaku?
Entahlah, aku telah menunjukan luka yang menjijikan itu...
Tapi ia tak mengubah mimiknya
ia tetap tenang memapahku dan sesekali meneteskan embun pada lukaku
Sejuk yang datang dari embun itu tidak hanya menyentuh lukaku
hatikupun demikan damainya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline