Jika bicara ASI, ingatan saya seakan dibawa kembali ke masa masih menyusui anak-anak, beberapa tahun lalu. Kenangan indah masa menyusui yang tak pernah bisa dilupakan. Masa-masa jatuh bangunnya saat menyusui.
Saya ingat sekali, ketika akan melahirkan anak pertama, saya merasa sudah menyiapkan segala sesuatu untuk kelahirannya, termasuk bekal pengetahuan. Mempelajari cara mengasuh bayi, hingga berbagai teknik menyusui melalui media online pada masa itu.
Tapi, realita tak pernah seindah ekspektasi. Tepat setelah melahirkan, datang lah saya pada kebingungan yang pertama. Setelah lahir, trus bayinya diapain? Kagok, ragu, bingung, semua jadi satu.
Mana tak ada yang bisa saya tanyai, kecuali suster. Saya tak bisa bertanya pada orangtua maupun mertua yang berada jauh dari kami.
Bayi yang langsung diberikan pada saya setelah dibedong, sama sekali gak saya apa-apain, cuma saya baringkan saja di sisi saya, ga langsung disusui. Sampai suster datang dan bertanya, 'bayinya sudah disusui?"
Dasar saya memang belum tahu, akhirnya sambil tersenyum-senyum, diajarkan juga oleh si suster.
Saya sempat mengalami masa-masa baby bluess setelah melahirkan anak pertama. Kadang suka up and down antara merasa ga becus sebagai ibu, merasa bahagia dan bangga punya anak yang lucu dan menggemaskan, tapi juga lelah fisik dan mental karena bolak balik menyusui dan sedang beradaptasi dengan kehidupan setelah melahirkan.
Dulu, sebelum melahirkan anak pertama saya sama sekali ga pernah begadang. Setelah melahirkan, mendadak semua berubah, harus begadang untuk memberikan ASI atau mengganti popok. Mana gak ada bala bantuan.
Untunglah suami selalu mendukung dan menguatkan saya untuk memberikan ASI. Kami tak mau mendengar kata-kata orang yang sering bertanya “ASInya cukup ga?”, tiap kali mendengar anak kami yang berkali-kali terbangun dan minta disusui.
Terus terang, pertanyaan seperti itu haram hukumnya diajukan pada ibu menyusi, mama ASI, mamsi.