[caption id="attachment_248873" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption]
"Jangan investasi rumah atau tanah, ribet ngurusnya. Apalagi kalau sudah jatuh waris, makin rumit urusannya."
Begitu kata notaris kenalan saya memberikan nasehatnya. Mungkin karena teman saya ini sehari-hari bertemu dengan masalah 'pertanahan', bersama dengan berbagai macam masalahnya. Pengalaman, singkatnya begitu. Maka ia pun banyak tahu sisi negatifnya investasi berupa rumah/tanah. Ternyata, nasehat teman saya tadi ada benarnya. Setidaknya ketika saya menemui beberapa kasus belakangan ini terkait masalah kepemilikan tanah/rumah. Di Kompleks perumahan saya, rata-rata jangka kepemilikan hak guna bangun (HGB) adalah sama. Tanggal kadaluarsanya juga sama. Ada memang, yang memiliki selisih satu atau dua hari. Biasanya penerbitan Akta Jual Beli (AJB) antara developer dengan pemilik juga sama. Masalahnya, tak banyak warga yang paham kalau status HGB itu masih status 'nyewa' tanah negara, yang memiliki jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, diperlukan kenaikan status, yakni dari HGB ke Hak milik. Akhir bulan Pebruari kemarin, banyak warga di kompleks saya yang berbondong-bondong mengurus kenaikan status kepemilikan ini. Rupanya, tanggal 2 Maret yang notabene adalah hari Minggu, jangka waktu 'sewa' tanah negara sudah berakhir. Rupanya banyak warga yang baru sadar dan bisa jadi baru tahu kalau ada hal yang harus diurus terkait kepemilikan rumahnya. Dan hilir mudiklah warga antara Kantor Kelurahan, Dispenda, Kantor BPN, bahkan ada juga yang hunting mencari notaris untuk kelengkapan administrasi yang diperlukan. Jika semua surat-surat lengkap, mungkin tidak akan repot. Yang jadi masalah, banyak warga yang menjadi pemilik ke dua dari rumah yang ditempatinya. Maka, sibuklah ngurus sana-sini, karena kalau belum balik nama, maka pengajuan kenaikan status harus atas nama pemilik pertamanya. Padahal pemilik pertama sudah pergi ke mana, banyak yang sudah tak bisa kontak-kontak lagi. Tetangga sekaligus sahabat saya kemarin mengalaminya. Rupanya, ketika jual beli rumah, ia tak mencatatkannya ke notaris. Sehingga proses pengajuan kenaikan status tanah pun lumayan ribet. Untunglah, meski pada waktu yang sangat mepet, akhirnya kelengkapan admisnistrasi bisa ia dapatkan, dan berkas sudah masuk ke BPN di hari dan jam terakhir dari tenggat waktu yang diberikan. Ketika kembali ke rumah, ia tersadar tentang status rumahnya yang di lokasi berbeda, yang kini ditempati oleh mertuanya. Langsung ia cek status kepemilikannya. Ternyata, status HGBnya sudah kadaluarsa hampir 2 tahun yang lalu. Lemaslah ia. Tapi, penyesalan selalu datang terlambat. MEngapa tidak dari jauh-jauh hari ia peduli? Memangnya, jika peningkatan status HGB ke Hak milik terlambat, apa resikonya ? Berikut yang saya tahu setelah saya bertanya-tanya kepada petugas di BPN. 1. Sertifikat tanah akan dimatikan. Artinya, sertifikat tidak akan berfungsi, legal formalnya sudah tidak diakui. 2. Jika menginginkan sertifikat diperbaharui, maka sertifikat lama akan ditarik, dan diterbitkan sertifikat baru. 3. Penerbitan sertifikat baru pastinya akan membutuhkan biaya berlipat, karena biaya akan dihitung dari awal proses, yakni pengukuran, pencatatan dll. Setidaknya, dari perhitungan saya ketika kemarin membantu sahabat saya mengurus status rumahnya, selisih lebih dari 3,5 juta untuk luas tanah di bawah 500 meter persegi. Karena, jika sebelum jangka waktu HGB habis, tarif yang diberikan adalah Rp. 250.000,- per rumah. Tapi, jika sudah melewati tenggat waktu, tarifnya jadi plus minus 4 juta. Saya kurang paham mengenai dasar pemberlakuan tarif, tapi ... yang saya rasakan, BPN di kota saya relatif transparan. Wallohu a'lam. Oleh karena itu, ... bagusnya cek dech sertifikatnya, sekarang juga. Yuukk ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H