Saya kurang tahu nama lengkapnya. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai Bi Yanti. Di bawa oleh sahabat dekat saya sebagai pencari kerja 'asisten rumah tangga'. Antara butuh dan tidak, tapi karena melihat sosoknya yang sepertinya sangat membutuhkan pekerjaan itu, maka saya pun mengiyakan. Kebiasaan saya selalu pengin kenal lebih dekat dengan siapapun, menjadikan saya banyak bertanya tentang suami dan pekerjaannya, anak-anak dan lain sebagainya. Kesimpulannya, ia adalah tulang punggung keluarga, dengan beban 4 orang anak dan ibunya yang sudah renta serta sakit-sakitan. Meskipun ia bersuami , ternyata suaminya tak memiliki tanggungjawab. Kisah yang sangat biasa. Tapi, baru seminggu kerja, Bi Yanti sering bolos. Alasannya anak sakit. Awalnya saya jengkel. Tapi, akhirnya saya pun mendatangi rumahnya, pengin menjenguk anaknya yang sakit berulang kali tersebut. Di sebuah kampung yang tidak ada akses kendaraan umumnya, yakni kampung Cikawati, Ngamprah Kabupaten Bandung Barat, di perkampungan yang kumuh, dengan rumah-rumah semi permanen, bahkan ada beberapa yang masih rumah panggung, dengan kondisi sanitasi yang jauh dari layak, di situlah Bi Yanti tinggal. Sebelum tahu jalan utamanya, saya melewati rumah-rumah warga yang sedang dibongkar, melompati galian-galian septic tank yang alakadar dan sangat tidak beraturan, hingga sampailah saya pada rumah Bi Yanti. Memasuki rumahnya membuat saya tercekat, tak tahu hendak bicara apa. Di ruang tengah, terhampar karpet dilapisi tikar kumal, ada sepotong kasur yang juga tak kalah kumal. Sosok yang terbaring di sana, membuat saya tak tega untuk sekedar bertanya : mengapa bisa sedemikian parahnya? Fitri nama anak Bi Yanti yang ke 3. Usianya 12 tahun. Jika anak-anak seusianya jamaknya sedang aktif beraktifitas berbagai macam, utamanya dalam kegiatan bersekolah dan pergaulan, maka Fitri hanya sanggup menoleh kanan kiri, mengedipkan mata untuk isyarat-isyarat tertentu pada orangtuanya, atau menangis pilu jika tak jua ada yang paham akan maunya. Ya, Fitri menderita lumpuh layuh yang disebabkan karena virus polio. Disebabkan kondisi perekonomian orangtuanya yang jauh dari cukup, menjadikan ia tak mendapatkan perawatan yang layak. Asupan gizinya juga jauh dari standart kebutuhan untuk bisa tumbuh dan berkembang secara wajar. Di usianya kini, ia hanya memiliki berat badan kurang lebih 8 kilogram.
Bi Yanti, Fitri (ketika masih agak sehat) dan Ibu Bi Yanti
Foto : Dokumen Pribadi
Meski demikian, Bi Yanti begitu optimal dalam menempuh ikhtiar. Di tengah keterbatasannya, ia ikhlash merawat Fitri. Sebelum ia pergi bekerja, ia pastikan Fitri sudah mandi, makan dan terpasang popok plastiknya. Dalam bekerja, Bi Yanti seperti mengejar waktu. Dan akhirnya saya memahami, ia berharap dalam sehari bisa bekerja di lebih dari satu orang, agar bisa mendapatkan lebih banyak penghasilan. Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak menjadi prioritas utamanya. Dan ia akan mematok waktu, sebelum jam 4 sore sudah harus sampai di rumah untuk memandikan Fitri dan menggendongnya. Karena setelah seharian terbaring ditunggui neneknya, Fitri pasti lelah. Jika tidak terlalu sore, Bi Yanti akan membawanya keluar rumah, menunjukkan pada Fitri tentang dunia diluar ruang tengahnya.
Kini kondisi Fitri jauh dari yang diharapkan. Batuk pilek, demam tinggi dan seringnya terserang ISPA menjadikan semakin sulit makanan masuk ke dalam tubuhnya. Alhasil, kondisi Fitri semakin buruk saja. Apakah Bi Yanti berhenti berikhtiar? Ternyata tidak. Ikhtiarnya tentu sebatas yang ia mampu. Ketika saya bersikeras membawanya ke puskesmas, Bi Yanti menggeleng. Rupanya Bi Yanti trauma, ketika membawa anaknya yang masuk dalam kategori 'gizi buruk', menjadikan ia dipingpong sana sini. Ditanya ini itu. Rumahnya banyak didatangi, dipotret, diwawancara dan lain sebagainya. Ia dijanjikan 'bantuan'. Dan ternyata hingga kini, 'bantuan' itu tak pernah datang.
Dan terakhir ketika saya paksa untuk membawanya ke rumah sakit sebagai ikhtiar maksimal, Bi Yanti pun masih tak bersedia. Meski ia memegang kartu jamkesmas, ia memperhitungkan bahwa biaya ke sana kemarinya pasti tidak sedikit. Ia pun memperhitungkan tentang kondisi orangtua dan anak-anaknya yang lain jika ditinggal mengurus Fitri.
Kondisi terakhir, Fitri hanya sanggup menelan air putih yang disuapkan, itupun melalui perjuangan batuk yang menyakitkan (19/4/2013)
Foto : Dokumen Pribadi
Itulah sosok Bi Yanti yang begitu tangguh, yang tak ada niatan untuk menyia-nyiakan amanah Allah SWT atas dirinya, meski itu adalah seorang anak yang cacat, seorang anak yang hanya menjadikannya repot. Jika akhirnya kemarin ia sesenggukan, itu karena rasa sedihnya yang sudah mencapai titik puncak, ketika tak mendapati suami peduli pada kondisinya dan anak2, mendapati saudara yang tak acuh pada deritanya, mendapati Fitri yang makin tersiksa kondisinya. Antara sedih, tak tega, tak kuasa dan tak sanggup lagi berharap banyak.
Hebatnya Fitri juga, seakan enggan melepaskan diri dari buaian sang ibu. Meski kemarin tersedak dahak dan sekitar 7 menit sudah tak bernafas, ternyata ia masih kembali. Nafasnya muncul satu-satu. Tangisnya melirih mengiris kalbu. Tulangnya yang sudah kaku, perlahan melemas, ada aliran hangat merambatinya.