Lihat ke Halaman Asli

Deddy Daryan

Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

Grevillea (33)

Diperbarui: 2 Agustus 2016   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

33. Suatu Isyarat

Dengan telaten sekali Hesty pagi itu, menyiapkan segala hal yang akan dipakai oleh Edo. Sepatu sudah mengilap disemirnya. Pakaian kesukaan suaminya, setelan kemeja berwarna hijau muda lembut dan celana panjang berwarna soft grey, sudah diseterikanya sejak tadi malam. Ia lakukan itu karena tanggungjawab perannya, sebagai seorang ibu rumah tangga, dan istri yang taat pada suami. Bukan sekedar demi sang suami itu sendiri, tapi bentuk aktualisasi beribadah sesuai dengan tuntunan yang dianutnya.                  

 “Hes, kurasa biar aku sendiri . . . tidak usah ditemani!” Tiba-tiba Edo menyela ketika Hesty tengah sibuk mengemasi meja makan. Mereka baru saja sarapan bersama.

“Maksud . . . Mas?” hati-hati sekali Hesty meresponi suaminya. Beberapa hari terakhir ini Hesty melihat semakin tampak ‘kelainan’ pada Edo. Walaupun hatinya penuh tanya, Hesty tetap sabar melayani, berusaha untuk menanamkan kesabaran dalam dirinya.  Hesty rasakan, inilah ujian terberat baginya. Ia selalu ingat kata-kata Ustadz Munir Abdurrahman dalam pengajian rutinnya, yang selalu menjelaskan ayat-ayat Al Qur’anul Karim, terutama yang berkenaan dalam kehidupan nyata sehari-hari; Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan hambanya itu. Hesty yakin, bahwa apa yang dialaminya merupakan ujian dari Yang Maha Kuasa, dan pasti ia mampu menghadapinya.                                     

 “Aku tidak usah ditemani ke dokter, jika kamu ada keperluan urusi saja keperluanmu itu. Ratri . . . . biarkan dia sekolah saja!” ujar Edo tanpa beban. Wajahnya sedikit tegang. Kalimat Edo menyengat kuping Hesty.

Hesty diam, meneguk air liurnya. Ia dilanda bingung dan heran. “Urusi saja keperluanmu itu , , , “ kalimat ini ganjil kedengarannya, sekaligus menohok langsung ulu hatinya. Bukankah apa yang ia lakukan demi kebersamaan? Biasanya Edo malah minta diantar ke dokter  spesialis paru-paru, Nanang Karyadi, atas rekomendasi rumah sakit yang merawatnya dulu, untuk mengontrol kondisi kesehatannya.

Hesty tidak menanyakan alasan, mengapa suaminya tidak mau ditemani. Ia tidak mau berbantah-bantahan dengan Edo, yang hanya akan mengundang perhatian tetangganya. Seminggu yang lalu mereka hampir ribut besar selepas isa. Untungnya, Hesty masih bisa menahan gejolak emosinya. Sumber keributan itu, tak lain ketika Hesty ‘melaporkan’ pada Edo, bahwa dirinya belum mendapatkan pekerjaan untuk menyelesaikan urusan uang Pak Bermawi, yang diperuntukkan biaya pengobatannya itu. Hesty benar-benar tidak mengerti, akhir-akhir ini perangai Edo sungguh aneh. Sulit dicerna akal orang normal. 

Selesai sarapan pagi itu, Edo sendirian pergi ke dokter untuk menjalani jadwal kontrolnya. Ini kali keenam Edo memeriksakan dirinya ke dokter Nanang Karyadi. Sebelumnya, Hesty selalu setia mendampingi, dan dengan sabar menunggunya. Mereka biasanya baru sampai ke rumah lagi pada pukul empat sore, dan beberapa kali menjelang maghrib. Maklum, bukan Metropolitan namanya kalau tidak macet. Dua kali mereka mencarter taksi, tapi sama saja tetap sampai di rumahnya kadang malam hari.

“Papah, Ratri ikut . . . papah Ratri ikut!” Ratri merengek manja setengah memaksa. Edo menghentikan langkahnya menjelang keluar pagar depan rumahnya. Ratri menghampirinya. Hesty mengawasi dari belakang.

“Papa mau berobat dulu, sayang! Nanti kalau Papa sudah sembuh benar, kemana pun Ratri mau, pasti Papa temenin, oke!”

 “Nggak mau . . . ! nggak mau . . . ! Ratri mau ikut Papah!” Ratri malah memekik. Tak biasanya ia seperti ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline