Doxing, atau tindakan mempublikasikan informasi pribadi seseorang secara daring tanpa izin mereka, telah menjadi isu yang semakin meresahkan dalam era digital ini. Doxing merupakan perilaku membuka data diri orang lain dan menyebarkannya di ruang publik tanpa ada persetujuan apapun.
Selain merugikan pihak korban secara material dan fisik, doxing akan memengaruhi kesehatan mental korban. Doxing dapat memicu trauma dan kecemasan secara berlebihan. Korban merasa selalu diawasi sehingga sulit untuk mendapatkan rasa aman untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Doxing juga meningkatkan risiko depresi, karena korban merasa terisolasi dari kehidupannya. Terakhir, doxing memengaruhi kualitas dan kemampuan korban untuk fokus dan berkonsentrasi, baik dalam pekerjaan atau aktivitas sehari-hari.
Praktik doxing termasuk dalam bentuk pelecehan atau penindasan, mengangkat pertanyaan tentang perlindungan privasi dan etika dalam penggunaan internet. Dalam konteks kebijakan, perbandingan antara pendekatan yang diambil oleh berbagai yurisdiksi menjadi penting untuk memahami bagaimana negara-negara menangani fenomena ini. Artikel ini bertujuan untuk melakukan perbandingan kebijakan terkait doxing di Indonesia dengan beberapa negara, dengan fokus pada pendekatan hukum, perlindungan privasi, dan upaya pencegahan yang diadopsi oleh masing-masing. Dengan memahami perbedaan dan persamaan dalam kebijakan doxing, kita dapat mengevaluasi efektivitas langkah-langkah yang telah diambil instansi terkait dalam melindungi individu dari risiko doxing di lingkungan digital yang semakin kompleks ini.
Doxing di Indonesia
Undang-Undang Dasar Indonesia menjamin hak-hak individu warga negaranya dapat dijaga dengan baik dan tidak dilanggar. Salah satu kewajiban negara dalam melindungi hak warga negaranya adalah hak atas privasi yang termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk melindungi data identitasnya dan hak atas keamanan. Hak atas privasi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, lebih tepatnya Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 30.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi privasi warga negaranya dari segala macam tindakan, termasuk doxing. Definisi doing ini tidak dijelaskan secara gamblang di dalam undang-undang. Namun, terdapat pasal yang mengatur mengenai tindakan penyebaran informasi pribadi tanpa izin dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, tepatnya dalam Pasal 67 ayat 2: "(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)."
Tindakan doxing juga diatur di dalam Pasal 26 ayat 1 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Merujuk pada ayat kedua pasal ini, seseorang yang terbukti melakukan perbuatan doxing dapat digugat dengan dasar kerugian yang ditimbulkan.
Doxing di Beberapa Negara
Australia
Saat ini, belum ada undang-undang atau kasus hukum di Australia yang memberikan definisi hukum resmi untuk "doxing". Doxing saat ini diatur di bawah Criminal Code Act, di mana doxing didefinisikan sebagai pelanggaran menggunakan layanan angkutan (termasuk internet) untuk mengancam, mengganggu, atau menyebabkan ketidaksenangan. Tindakan-tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran jika dilakukan dengan cara yang seorang yang wajar akan menganggapnya sebagai mengancam, mengganggu, atau menyebabkan ketidaksenangan dalam segala keadaan. Pengadilan juga akan mempertimbangkan standar moralitas, kepatutan, dan kesopanan yang diterima secara umum oleh orang dewasa yang wajar, serta karakter umum dari materi yang bersangkutan. Beberapa contoh tindakan yang dianggap "menyebalkan" di bawah Undang-Undang ini termasuk mengirim pesan ancaman di Facebook dan mengirim foto organ genital tanpa permintaan. Pelanggaran ini dapat dikenakan hukuman maksimal 3 tahun penjara. Selain itu, sebuah tinjauan Privacy Act 1988 oleh Departemen Jaksa Agung Australia pada tahun 2022 menyarankan untuk mengatur penggunaan informasi pribadi orang lain oleh individu dalam kapasitas pribadi mereka. Usulan tersebut masih dalam pertimbangan, dan jika diimplementasikan, akan memperkuat perlindungan terhadap orang dari invasi privasi melalui kegiatan doxing.