Krisis moneter 1998 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya membawa dampak besar pada perekonomian, tetapi juga mengguncang tatanan sosial dan politik negara. Krisis ini dimulai sebagai bagian dari krisis keuangan Asia yang melanda beberapa negara berkembang, tetapi dampaknya terhadap Indonesia jauh lebih parah. Artikel ini akan membahas secara rinci sejarah krisis moneter 1998, penyebab utamanya, dampaknya terhadap masyarakat, serta pelajaran yang dapat diambil dari salah satu era tergelap dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Latar Belakang Krisis Moneter
Pada awal 1990-an, Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun, negara ini menjadi salah satu "Macan Asia" yang menjanjikan. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dianggap berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan menarik investasi asing. Namun, di balik pertumbuhan ini terdapat sejumlah kelemahan struktural yang tidak teratasi.
Salah satu kelemahan utama adalah ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah meminjam dalam mata uang asing, terutama dolar AS, dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan tetap stabil. Selain itu, sektor perbankan tidak diawasi dengan baik, sehingga banyak bank memiliki portofolio kredit yang berisiko tinggi.
Pemicu Krisis
Krisis moneter di Indonesia bermula dari melemahnya nilai tukar mata uang Thailand, baht, pada Juli 1997. Pemerintah Thailand memutuskan untuk melepaskan nilai tukar baht terhadap dolar AS karena tekanan spekulatif yang besar. Keputusan ini memicu kepanikan di pasar keuangan Asia dan menyebabkan depresiasi mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan pada pertengahan 1997. Pada bulan Juli, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp2.500. Namun, dalam beberapa bulan, rupiah kehilangan lebih dari 70% nilainya, jatuh hingga lebih dari Rp10.000 per dolar pada awal 1998. Depresiasi ini membawa dampak besar bagi perusahaan dan bank yang memiliki utang dalam dolar AS.
Dampak Ekonomi
1. Inflasi Tinggi
Depresiasi rupiah menyebabkan lonjakan harga barang impor, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar. Inflasi tahunan mencapai lebih dari 70% pada puncak krisis, membuat daya beli masyarakat anjlok. Kenaikan harga ini memicu keresahan sosial, dengan banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Kebangkrutan Perusahaan
Banyak perusahaan besar di Indonesia memiliki utang dalam mata uang asing. Ketika rupiah terdepresiasi, beban utang mereka meningkat drastis. Banyak perusahaan tidak mampu membayar utang tersebut, sehingga mengalami kebangkrutan. Sektor-sektor seperti properti, manufaktur, dan jasa keuangan menjadi yang paling terdampak.
3. Krisis Perbankan
Sektor perbankan Indonesia mengalami guncangan besar selama krisis. Banyak bank kecil yang tidak sehat terpaksa ditutup oleh pemerintah. Bank-bank besar juga menghadapi masalah likuiditas akibat lonjakan kredit macet. Pemerintah meluncurkan program penyehatan perbankan dengan biaya yang sangat besar, yang pada akhirnya membebani anggaran negara.