Hari Kamis pagi, 14 Januari 2016 telah terjadi aksi teror di Jakarta, tepatnya depan Sarinah jl M H Tamrin Jakarta. Beberapa korban meninggal dan luka-lukapun akhirnya terjadi. Kejadian tersebut sempat mengalihkan perhatian pemberitaan-pemberitaan penting lainya.
Mencermati tindakan terorisme di Indonesia belakangan ini memunculkan perasaan sedih, prihatin, sekaligus memunculkan persepsi “biasa”.
Mengapa sedih? Karena Republik Indonesia yang diharapkan aman, tentram, damai, dan produktif didalam mengimplementasikan peran-peran pembangunan, ternyata harus dihadapkan pada suasana sewaktu-waktu terjadi tindak kejahatan terorisme. Realita semacam ini melahirkan rasa ragu untuk mengatakan negara kita aman dan damai. Walaupun presiden kita menghimbau masyarakat untuk tidak takut, tenang , kita berantas terorisme dan sebagainya tetapi faktanya demikian.
Mengapa prihatin? Karena hampir setiap ada peristiwa terorisme di Indonesia, jutaan pikiran mengarah pada apa yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan aktifis Islam, sebut saja misalnya ISIS, Jama’ah Islamiah, Al Kaida, dan sebagainya. Teror demikian justru sangat dirasakan oleh para aktifis da’wah Islam yang memang sungguh-sungguh dalam melaksanakan amal m’ruf nahi munkar. Tidak sedikit para da’i, khotip, ustad, dan pemuka-pemuka dakwah islam lainya merasa terteror dan terganggu kebebasanya dalam mengekpresika, atau mengimplementasikan kegiatan dakwanya, baik melalui ceramah, maupun tulisan, walaupun Negara ini adalah Negara demokrasi.
Muncul persepsi “Kegiatan terorisme biasa”. Semakin berjalanya waktu dengan intensitas terorisme yang terjadi di Indonesia, maka melahirkan persepsi bahwa bisa sewaktu-waktu terorisme akan terjadi. Hal ini barangkali berbagai pemicu lahirnya tindak terror di Indonesia kurang disikapi secara berani dan sungguh-sungguh.
Persoalan politik nasional maupun internasional bisa menjadi pemicu tindak terorisme, kesenjangan ekonomi, fanatisme golongan, ketidak adilan pun bisa memicu lahirnya tindak terorisme. Yang menjadi keprihatinan dan terkesan biasa adalah SDM terorisme banyak dikesankan bersumber dari para aktifis Islam, kalau hai ini terjadi berarti ada upaya sengaja dalam meproses nilai-nilai dikalangan generasi muda islam terincar.
Internalisasi nilai-nilai yang berliteraturkan sesungguhnya bukan dari Islam, digunakan secara terprogram oleh para aktifis kesesatan, dan menu tersebut secara kreatif dihidangkan pada generasi muda islam terincar yang sedang membutuhkan eksistensi diri.
Semoga Ujian dari Allah ini melahirkan hikmah kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Amiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H