Sisa gerimis pagi belumlah kering, namun kau kembali basahi pundakmu dengan airmatamu. Tanah yang basah ikut menyembunyikan suara tangismu yang menggema sampai ke relung hati. Sungguh. Aku tidak tahu bahwa kau menangis untukku.
Jelita, bukankah aku pernah berkata; "Jangan pernah menangis untukku. Menangislah karena kau harus menangis"
Datanglah padaku, akan kubingkai sedihmu akan asa yang nyaris redup menjadi sebuah panorama masa depan kita. Yakinlah bahwa aku mampu merubahnya menjadi nyata. Keluarlah dari jeruji masa kelammu. Ulurkan tanganmu untuk kutuntun menuju cahaya terang di kehidupan baru. Kau sudah terlalu lama terpuruk oleh de javu de javu yang mematikan kecantikanmu.
"Sayang... Aku hanyalah sisa sebuah drama yang tak pernah usai. Terkadang aku ragu jika semua tanya tak pernah terjawab" Bisikmu menguraikan tatapan mataku.
Masih dengan bayang kesedihan akan cerita masa lalu, kau mulai terlelap dalam dekapanku. Lalu senyap...
"Biarlah masa masa itu tertelan waktu. Relakan apa yang akan berlalu nanti ketika bersamaku. Pasrahkan percayamu, dan aku yakin mampu mengangkat mimpi"
Ketika cinta telah menemukan tempatnya berpijak, ia takkan berfikir untuk terbang ke angkasa membawa pergi sisa sisa kenangan... Ia akan memagari ketulusan, kasih dan sayang dari keraguan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H